Bisnis.com, JAKARTA -- Emiten menara portofolio Sandiaga Uno PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) tetap percaya diri di tengah disrupsi masuknya layanan satelit Low Earth Orbit (LEO) milik Elon Musk, Starlink dan rencana merger operator seluler PT XL Axiata Tbk. (EXCL) dengan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN).
Presiden Direktur Tower Bersama Infrastructure Herman Setya Budi mengatakan pihaknya tidak khawatir keberadaan Starlink akan menggerus kinerja TBIG. Herman mengambil contoh, keberadaan Starlink di negara asalnya, Amerika Serikat, tidak menggerus bisnis menara yang ada di sana.
"Starlink akan complimentary antara menara dan fiber optic. Kita kan bisa lihat di AS juga perusahaan menara masih bagus ya," kata Herman ditemui di Jakarta, Kamis (30/5/2024).
Herman juga berpandangan layanan Starlink akan saling melengkapi dengan layanan infrastruktur telekomunikasi seperti menara dan fiber optic. Herman juga menilai layanan Starlink saat ini akan lebih cocok digunakan pada remote area, dan daerah yang tidak memungkinkan dibangun fiber optic.
"Jadi mungkin Starlink akan lebih cocok untuk remote area, daerah yang tidak mungkin dibangun fiber optic karena jangkauannya luas seperti masih banyak hutan dan sebagainya," tutur Herman.
Dia juga menyebut meski menghadirkan disrupsi, layanan Starlink dapat mengalami gangguan akibat cuaca, kepadatan, polusi, dan sebagainya.
Baca Juga
Meski demikian, Herman melihat TBIG memiliki peluang untuk melakukan kerja sama dengan Starlink ke depannya. Menurutnya, Starlink dapat saling melengkapi terhadap menara dan fiber optik yang telah ada.
"Jadi mungkin kami dapat kerja sama. Tapi bentuk kerja samanya saya belum tau akan seperti apa," ucap Herman.
Sementara itu, Direktur TBIG Helmy Yusman Santoso menuturkan kehadiran Starlink akan saling melengkapi dengan infrastruktur telekomunikasi yang telah ada.
"Saat ini di Indonesia masih ada daerah yang belum terjangkau internet. Dengan adanya Starlink, seluruh masyarakat Indonesia bisa mendapatkan kesempatan mendapatkan internet," tutur Helmy.
Helmy juga percaya jika kehadiran Starlink belum akan menggerus layanan infrastruktur menara dan fiber optic yang lebih murah. Dia menjelaskan untuk menggunakan Starlink, masyarakat harus memiliki peralatan, dengan biaya bulanan yang lebih mahal dibandingkan dengan tarif yang disediakan oleh operator telekomunikasi.
"Saya rasa para konsumen yang dengan mudah mendapatkan akses ke seluler atau ke fiber optic, pasti mereka memilih itu, karena biaya lebih murah," ujarnya.
Selain Starlink, disrupsi terhadap kinerja TBIG juga datang dari rencana merger EXCL-FREN. Sebagaimana diketahui, EXCL-FREN telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) yang tidak mengikat untuk melakukan penggabungan usaha atau merger.
Herman Setya Budi mengakui dengan adanya merger, maka akan terjadi pengurangan penyewaan infrastruktur yang datang dari konsolidasi EXCL-FREN. Akan tetapi, berkaca dari konsolidasi PT Indosat Tbk. (ISAT) dengan Hutchison 3 Indonesia, Herman tak khawatir akan dampak jangka panjang konsolidasi operator tersebut.
"Kalau saya melihat, merger ini akan membuat industri telekomunikasi semakin sehat, sehingga medium long term akan bagus," kata Herman.
Herman melihat terdapat peluang bagi TBIG untuk menumbuhkan kinerjanya dalam jangka menengah dan panjang seiring dengan terjadinya konsolidasi operator tersebut.
Helmy Yusman Santoso juga memandang optimistis akan dampak positif yang dibawa dari merger operator nomor tiga dan empat di Indonesia ini. Hal tersebut mengingat merger antara Indosat dan Hutchison 3 Indonesia sebelumnya membawa permintaan menara yang semakin kencang ke TBIG.
"Begitu mereka selesai konsolidasi, mereka akan gas lagi. Contohnya Indosat, mereka perlu konsolidasi setahun, setelah itu mereka gas lagi, order lagi lebih banyak," tutur Helmy.
Helmy meyakini konsolidasi operator seluler ini akan menumbuhkan pendapatan TBIG ke depannya.
Sebagai informasi, hingga kuartal I/2024 TBIG menyampaikan kontribusi yang didapatkan dari EXCL adalah sebesar 18,6% ke pendapatan perseroan. Sementara itu, kontribusi FREN terhadap pendapatan TBIG adalah sebesar 14,1%.
Hingga saat ini, kontribusi terbesar pendapatan TBIG berasal dari Telkomsel sebesar 33,3%. Adapun kontribusi pendapatan TBIG yang berasal dari ISAT adalah sebesar 25,7%.
Tantangan TBIG 2024
Meski tak mengkhawatirkan keberadaan Starlink dan konsolidasi operator, analis melihat kinerja TBIG di tahun ini dapat terdisrupsi akibat dua hal tersebut.
Analis OCBC Sekuritas Kevin Jonathan Panjaitan menilai risiko terhadap kinerja TBIG datang dari lambatnya ekspansi operator seluler, konsolidasi operator, ekspansi Starlink di area terpencil, dan penundaan pemotongan suku bunga.
Di sisi lain, OCBC Sekuritas belum melihat potensi pertumbuhan yang lebih tinggi dari kinerja TBIG. Menurut Kevin, dampak dari konsolidasi Indosat akan berkurang bagi TBIG di tahun 2024 dibandingkan dengan tahun lalu. Selain itu, pemotongan suku bunga seharusnya memberikan manfaat bagi TBIG.
"Namun, kami belum melihat rencana signifikan untuk menciptakan momentum pertumbuhan tahun ini," kata Kevin dalam risetnya.
Sementara itu, Analis Sucor Sekuritas Christofer Kojongian mencermati selama dekade terakhir TBIG fokus pada pertumbuhan organik dan akan melanjutkan pertumbuhan organik ini dengan fokus pada model built-to-suit untuk bisnis menara dan fiber optic.
Direktur TBIG Helmy Yusman Santoso menuturkan pada kuartal I/2024, di sisi pertumbuhan organik, TBIG menambah 481 menara dan 103 kolokasi. Menurutnya, capaian pertumbuhan organik ini lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Untuk mendukung pertumbuhan tersebut, Helmy menyebut TBIG menganggarkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar Rp4 triliun.
"Dana capex Rp4 triliun, ini untuk menggarap pesanan operator, baik untuk menara, fiber optic, maupun fiber to the home," ujarnya.
Dari sisi pendanaan, Helmy menuturkan TBIG telah menyiapkan pendanaan sejumlah capex tersebut, maupun jika dibutuhkan tambahan pendanaan lainnya.
Helmy juga menuturkan pada RUPS hari ini, Kamis (30/5/2024), TBIG telah mendapatkan persetujuan pemegang saham untuk menerbitkan global bonds senilai US$900 juta yang dapat digunakan dalam waktu satu tahun ke depan.
"Kalau window-nya ada, kami akan terbitkan. Jadi opsi pendanaan kami masih banyak," tuturnya.
Meski fokus pada pertumbuhan organik, Sucor Sekuritas melihat akan terjadi pertumbuhan yang lambat dalam bisnis menara legacy TBIG, dan hanya akan tumbuh sebesar 1% dalam jangka menengah akibat konsolidasi IOH, ditambah dengan meningkatnya persaingan dengan PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR) dan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk. (MTEL).
Christofer juga melihat bisnis fiber optic TBIG akan melanjutkan pertumbuhannya dengan kuat dan akan menjadi pendorong pertumbuhan TBIG, meskipun kontribusi ke pendapatan relatif kecil.
"Kekhawatiran utama kami untuk TBIG adalah risiko kehilangan daya saingnya, karena kesenjangan aset dibandingkan dua perusahaan menara lainnya semakin melebar," kata Christofer.
Adapun Sucor Sekuritas memberikan rekomendasi hold untuk TBIG, dengan target harga Rp1.900. Begitu juga dengan OCBC Sekuritas yang memberikan rekomendasi hold dengan target harga yang lebih rendah, yakni pada Rp1.920 per saham.
-------------
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.