Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah makin melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat memanasnya tensi geopolitik di Timur Tengah, setelah Israel dikabarkan meluncurkan serangan balasan ke pangkalan militer Iran.
Mengacu data Bloomberg pada Jumat (19/4/2024) pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup melemah dengan turun 81 poin atau 0,50% ke Rp16.260 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS berkisar di angka 106,05.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kembali memanasnya konflik geopolitik di Timur Tengah setelah saling serang antara Israel dan Iran telah membuat banyak investor menjadi risk-off dan lebih memilih aset-aset safe-haven.
"Hal itu juga menyebabkan aliran modal keluar dari pasar-pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Sementara indeks dolar AS melanjutkan kenaikannya, meningkat menjadi 106,26 menandai level tertinggi sejak 1 November 2023," ujar Josua kepada Bisnis, dikutip Jumat (19/4/2024).
Tak hanya itu, data terbaru menunjukkan bahwa ekonomi AS tetap solid, dengan inflasi tahunan meningkat, klaim pengangguran menurun, dan penjualan ritel menguat. Hal ini mengindikasikan penundaan pemotongan suku bunga The Fed, dan pasar kini berekspektasi The Fed baru akan mulai memotong suku bunga pada September 2024.
Merespons pelemahan rupiah tersebut, dia mengatakan Bank Indonesia (BI) tetap berada di pasar dan akan terus melakukan langkah-langkah stabilisasi seperti triple intervention atau intervensi di pasar spot, pasar DNDF (derivatif), dan pasar obligasi.
Baca Juga
"Selain itu, BI akan mengoptimalkan penguatan strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia [SRBI], Sekuritas Valas Bank Indonesia [SVBI], dan Sukuk Valas Bank Indonesia [SUVBI]," katanya.
Menurutnya, bagi para pelaku usaha terutama sektor ekonomi yang memiliki konten impor yang besar dapat mengoptimalkan transaksi lindung nilai sehingga dapat membatasi risiko peningkatan biaya produksi yang ditimbulkan oleh pelemahan nilai tukar rupiah.
Sementara itu, katanya, dampak pelemahan nilai tukar rupiah pada masyarakat luas cenderung kecil, karena masyarakat yang memiliki pendapatan dan pengeluaran dalam rupiah tidak memiliki dampak dari pelemahan rupiah.
"Yang perlu dipahami, sekalipun nilai tukar NDF rupiah terhadap dolar AS menembus level Rp16.000, namun kondisinya sangat berbeda dengan krisis tahun 1998 di mana rupiah melemah dari level Rp4.000 per dolar menjadi Rp16.000 karena krisis mata uang yang menyebar dari pelemahan baht Thailand," jelasnya.
Josua mengatakan, kondisi pertumbuhan ekonomi RI masih solid, didukung inflasi yang terkendali serta neraca perdagangan yang masih tercatat surplus, dan cadangan devisa yang masih dalam level yang solid.
"Mengingat yang terjadi saat ini adalah penguatan dolaar AS terhadap mata uang dunia, artinya bukan rupiah satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dolar. Oleh sebab itu pelemahan rupiah saat ini diperkirakan hanya akan sementara," pungkasnya.