Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berisiko mengalami pelemahan akibat kurangnya katalis positif dari internal dan eksternal.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, Bank Sentral AS Federal Reserve atau The Fed memberikan isyarat untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut, berkaca pada kondisi inflasi yang tinggi.
"Prospek suku bunga AS yang tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama menjadi pertanda buruk bagi mata uang Asia, karena kesenjangan antara imbal hasil yang berisiko dan yang berisiko rendah semakin menyempit," ujar Ibrahim dalam riset, Senin (11/11/2023).
Selain itu, kekhawatiran atas perlambatan ekonomi China juga mengurangi sentimen terhadap Asia, menyusul serangkaian data yang lemah pada Oktober 2023. Meskipun data tersebut meningkatkan harapan akan langkah-langkah stimulus lebih lanjut dari Beijing.
Dari dalam negeri, Ibrahim mengatakan pemerintah Indonesia perlu menjaga momentum pulihnya permintaan domestik pascapandemi, di tengah kondisi ketidakpastian global akibat konflik di Timur Tengah.
Meski demikian, menurutnya pertumbuhan ekonomi RI tetap kuat pada kuartal III/2023 ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang tumbuh sebesar 5,06% year-on-year (yoy), seiring dengan kenaikan mobilitas yang terus berlanjut, daya beli masyarakat yang stabil, serta keyakinan konsumen yang masih tinggi.
Baca Juga
Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2023 tetap pada kisaran 4,5% hingga 5,3%.
"Untuk perdagangan Senin [12/11] pekan depan, mata uang rupiah diprediksi fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.680- Rp15.770," kata Ibrahim.
Pekan lalu rupiah ditutup lesu ke level Rp15.695 per dolar AS pada perdagangan, Jumat, (10/11/2023), atau melemah selama empat hari beruntun pada pekan ini. Seluruh mata uang Asia terpantau berguguran dengan mencatatkan pelemahan pada sore ini.
Berdasarkan data Bloomberg dikutip Jumat, (10/11/2023) pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup melemah 0,26% atau 40 poin ke level Rp15.695 per dolar AS, setelah ditutup lesu pada perdagangan kemarin. Sementara itu, indeks mata uang Negeri Paman Sam terpantau menguat tipis ke posisi 105,90 pada sore ini.
Seluruh mata uang Asia terpantau melemah terhadap dolar AS pada sore ini. Misalnya, yen Jepang melemah 0,03%, dolar Hongkong dan dolar Singapura masing-masing melemah 0,01%, dolar Taiwan turun 0,29%, dan won Korea anjlok 0,54%.
Selanjutnya, peso Filipina melemah 0,17%, rupee India terkoreksi 0,14%, yuan China turun 0,10%, ringgit Malaysia turun 0,28%, dan baht Thailand melemah 0,32%.
Kenaikan imbal hasil Treasury AS pada hari Senin membantu mengirim dolar ke level tertinggi baru dalam satu tahun terhadap yen, sekaligus menggagalkan reli awal ekuitas yang didorong oleh teknologi.
Imbal hasil obligasi Treasury 10-tahun yang menjadi acuan naik ke level tertinggi dalam satu minggu di 4,668%, menguji batas atas kisarannya sejak data non-farm payroll (gaji non-pertanian) yang lemah pada awal bulan memicu spekulasi penurunan suku bunga Federal Reserve sebelumnya.
Dolar naik menjadi 151,78 yen untuk pertama kalinya sejak pertengahan Oktober tahun lalu, meskipun stabil terhadap euro dan sterling.
Dolar AS stabil pada hari Senin karena para pedagang menunggu kumpulan data inflasi Amerika Serikat yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut pada minggu ini mengenai Federal Reserve yang memiliki lebih banyak pekerjaan untuk mengendalikan tekanan harga.
Yen Jepang tetap rentan, berada tidak jauh dari level terendah dalam satu tahun terhadap greenback karena pasar tetap mewaspadai kemungkinan intervensi oleh Tokyo.
Fokus bagi sebagian besar trader akan tertuju pada angka indeks harga konsumen (CPI) AS yang akan dirilis pada hari Selasa setelah pertemuan kebijakan The Fed bulan ini mengurangi sikap hawkishnya meskipun Ketua Fed Jerome Powell pekan lalu mengisyaratkan bahwa perjuangan melawan inflasi mungkin belum berakhir.
Penjualan ritel pada hari berikutnya juga akan memberikan lebih banyak informasi mengenai keadaan permintaan dalam perekonomian AS, yang telah menunjukkan tanda-tanda ketahanan dalam menghadapi tingginya biaya pinjaman.
“Kami memperkirakan USD akan tetap pada posisi yang kuat,” Lenny Jin, Ahli Strategi Valas Global di HSBC, menulis dalam sebuah catatan, mengutip kinerja pertumbuhan ekonomi AS yang terus berlanjut sebagai salah satu faktor penting.