Bisnis.com, JAKARTA – Emiten baja pelat merah, PT Krakatau Steel Tbk. (KRAS) hanya menyerap anggaran belanja 12% dari seluruh belanja modal atau capital expenditure (capex) yang dianggarkan. Minimnya penyerapan capex disebabkan KRAS menjaga likuiditas.
Direktur Utama Krakatau Steel Purwono Widodo mengatakan serapan capex sampai dengan kuartal III/2023 telah mencapai 12% dari total capex yang telah direncanakan di awal tahun 2023. Realisasi tersebut digunakan untuk capex rutin 43% dan capex investasi 57% di subholding Krakatau Sarana Infrastruktur (KSI).
“Masih minimnya realisasi capex ini karena Perseroan berfokus untuk menjaga likuiditas sampai dengan akhir tahun serta menjaga komitmen penyelesaian utang restrukturisasi sesuai dengan schedule yang ditetapkan,” katanya kepada Bisnis, Rabu (8/11/2023).
Purwono mengatakan tahun 2023 tidak ada capex investasi baru yang bersifat multy years selama periode restrukturisasi utang. Adapun capex yang bersifat rutin, alokasinya sebagian besar diperuntukkan untuk perawatan rutin mesin pabrik untuk menjaga keandalan pabrik.
Sementara itu untuk capex investasi telah dialokasikan untuk Subholding KSI maupun Krakatau Baja Konstruksi (KBK), sedangkan untuk pengembangan bisnis di KRAS Induk dilakukan melalui skema kerja sama dengan mitra strategis.
Sementara itu, pada pemberitaan Bisnis sebelumnya, KRAS mengalokasi Capex 2023 secara konsolidasi sebesar US$129,8 juta. Capex tersebut kata Purwono bersumber dari ekuitas perusahaan serta loan.
Baca Juga
“Terdiri dari capex pada Subholding PT Krakatau Sarana Infrastruktur sebesar USD115,5 juta dan Subholding PT Krakatau Baja Konstruksi capex diproyeksikan sebesar USD14,3 juta,” jelasnya.
Purwono mengaku, dalam periode restrukturisasi, KRAS tidak melakukan capex baru, sehingga tidak ada rencana tambahan pendanaan baru dari bank atau lembaga keuangan lainnya. Untuk pengembangan bisnis perusahaan dilakukan melalui skema kerja sama dengan mitra strategis.
Kemudian per September 2023, KRAS berhasil menurunkan utang berbunga (interest bearing debt) semula US$1,73 miliar atau setara Rp26,96 triliun pada Desember 2022 menjadi sebesar US$1,48 juta atau setara Rp22,96 triliun. Hal ini karena adanya pembayaran sebagian pokok Tranche A dan Tranche B sebesar US$284 juta.