Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IHSG Terus Melaju Dekati 7.000, kala Wall Street Dihantam Inflasi

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu melaju ke posisi 6.964 sekalipun indeks-indeks raksasa Wall Street tergelincir akibat inflasi.
Pegawai beraktivitas di dekat layar yang menampilkan data saham di PT Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Rabu (2/8/2023). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai beraktivitas di dekat layar yang menampilkan data saham di PT Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Rabu (2/8/2023). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu melaju ke posisi 6.964 sekalipun indeks-indeks raksasa Wall Street tergelincir akibat inflasi yang naik lebih dari perkiraan.

IHSG melaju 0,45 persen ke level 6.964 dari posisi pembukaan 6.934. Adapun level tertinggi IHSG pagi ini pada level 6.973 sedangkan level terendah 6.941. 

Investor IHSG melakukan transaksi sebanyak 202.291 kali pada pembukaan dengan jumlah saham yang beredar 4,31 triliun. Adapun nilai transaksi yang meliputinya diperkirakan mencapai Rp1,09 triliun.

Sejauh ini terdapat 232 saham yang menguat, 189 saham yang melemah dan 228 saham yang stagnan. Diantara saham yang menguat itu terdapat saham BREN yang kembali mencetak auto reject atas (ARA) sebesar 25 persen ke posisi Rp2.360.

Setali tiga uang dengan BREN, nasib mujur juga menyertai saham debutan STRK yang ikut ARA sebesar 25 persen ke Rp302 per unit. 

Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan dalam riset harian menyampaikan bahwa penurunan tersebut berpotensi terjadi karena adanya indikasi investor mengalami jenuh beli atau overbought pada stochastic RSI. 

Adapun, resistance IHSG hari ini berada pada level 7.000 dan support terdekat di level 6.900. 

Beberapa sentimen yang akan membayangi pergerakan IHSG hari ini adalah realisasi data inflasi dan jobless claims terbaru Amerika Serikat (AS). Data ini memicu kekhawatiran kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS The Fed dalam pelaksanaan FOMC November 2023 mendatang. Sentimen ini pun diperkirakan akan memengaruhi kepercayaan investor terhadap pasar saham. 

Kendati demikian, kondisi ini kemungkinan akan diredam oleh perilisan data regional Tiongkok yang diperkirakan naik ke 0,2 persen secara year-on-year (yoy) pada September 2023, dari 0,1 persen yoy pada bulan sebelumnya. Sementara, nilai ekspor (-7,8% yoy) dan impor (-6% yoy) diperkirakan masih turun di September 2023, meski tidak sedalam penurunan di Agustus 2023.

Sementara itu, berkaca pada kondisi terkini pasar, terdapat beberapa saham yang direkomendasikan oleh Phintraco Sekuritas untuk perdagangan hari ini. Itu adalah BBRI dan BBCA yang berpotensi rebound lanjutan seiring menguat terbatasnya nilai tukar rupiah di hadapan dolar AS. 

Saham-saham lain yang juga dapat dicermati pada hari ini adalah AUTO, ADMR, ICBP, TKIM, hingga UNVR.

Di sisi lain, Bursa saham Amerika Serikat di Wall Street, New York parkir di zona merah pada perdagangan Kamis (12/10/2023) waktu setempat dan imbal hasil obligasi pemerintah AS naik setelah data inflasi mendukung spekulasi bahwa Federal Reserve belum menyatakan kemenangan atas inflasi.

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (13/10/2023), indeks Dow Jones Industrial Average turun 0,51% atau 173,73 poin ke 33.631,14, S&P 500 tergelincir 0,62% atau 27,34 poin ke 4.349,61, dan Nasdaq melemah 0,63% atau 85,46 poin ke 13.574,22.

S&P 500 menghentikan kenaikan empat hari. Saham-saham perbankan berkinerja buruk menjelang laporan keuangan JPMorgan Chase & Co., Citigroup Inc. dan Wells Fargo & Co. pada Jumat waktu setempat. Harga obligasi turun di seluruh kurva Amerika, dengan tingkat suku bunga 30 tahun melonjak sebanyak 19 basis poin setelah lelang surat berharga menarik permintaan yang lemah.

Indeks dolar AS memperoleh keuntungan terbesar dalam lima minggu. Pasar kontrak berjangka mendorong kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed lagi sebesar seperempat poin menjadi sekitar 40%, dari mendekati 30% pada Rabu (11/10/2023).

Indeks harga konsumen inti, yang tidak termasuk biaya pangan dan energi, meningkat 0,3% bulan lalu. Dibandingkan tahun lalu, angka tersebut naik 4,1%, terendah sejak tahun 2021. Para ekonom lebih menyukai ukuran inti sebagai indikator inflasi yang lebih baik daripada CPI secara keseluruhan. Adapun CPI naik 0,4%, didorong oleh biaya energi. Para analis memperkirakan kenaikan bulanan sebesar 0,3%, baik pada pengukuran keseluruhan maupun inti.

“Mengenai bagaimana hal ini akan berdampak pada suku bunga, pada saat ini, ‘lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama’ mungkin lebih penting daripada ‘seberapa tinggi?” kata Richard Flynn, direktur pelaksana di Charles Schwab UK.

_________________

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Pandu Gumilar
Editor : Pandu Gumilar
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper