Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak telah mencatatkan kenaikan terbesar dalam enam bulan terakhir usai Israel menyatakan pembalasan atas serangan kelompok militan Hamas baru saja dimulai. Hal ini kemudian meningkatkan prospek ketidakstabilan baru di wilayah tersebut, saat memasuki hari keempat.
Mengutip Bloomberg, Selasa (10/10) minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) diperdagangkan pada level sekitar US$86 per barel, sedikit berubah setelah melonjak 4,3 persen pada hari Senin. Hal ini lantaran pasar yang bereaksi atas pertempuran yang terjadi pada Sabtu (7/10) sehingga memunculkan kembali konflik dengan dampak yang luas di seluruh wilayah.
Israel diketahui telah mengerahkan lebih dari 300.000 tentara cadangannya, terbesar yang pernah ada. Perdana Menteri (PM) bersumpah untuk "mengubah Timur Tengah", sementara Hamas mengancam akan mengeksekusi para sandera.
Konflik ini kemudian meningkatkan volatilitas minyak, yang telah berubah cukup besar dalam sebulan terakhir karena kekhawatiran ekonomi yang membebani reli, menyusul adanya pembatasan pasokan dari Arab Saudi dan Rusia.
Berdasarkan catatan Bisnis, meskipun peran Israel terbatas dalam pasokan minyak global, konflik ini mengancam melibatkan Amerika Serikat (AS) dan Iran.
Sebagai catatan, Iran merupakan sumber utama minyak tambahan pada 2023. Sanksi tambahan AS terhadap Tehran juga membatasi pengiriman tersebut.
Baca Juga
Adapun, pembalasan terhadap Tehran dapat membahayakan jalur kapal melalui Selat Hormuz. Selat ini berperan sebagai jalur penting yang mengangkut sebagian besar mentah dunia.
Tak hanya itu, konflik yang terjadi juga mengalihkan perhatian dari fundamental permintaan dan penawaran, dengan OPEC pada Senin (9/10) meningkatkan proyeksi permintaan minyak global hingga pertengahan abad ini.
Kemudian, pada Kamis (12/10) juga akan banyak indikator yang akan dirilis, termasuk laporan pasar bulanan dari kartel dan Badan Energi Internasional (IAE) dan data persediaan mingguan AS.