Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Faktor Pemberat IHSG Sulit Tembus 7.000

IHSG terkoreksi selama sepekan perdagangan dan belum menyentuh kembali level 7.000.
Pegawai beraktivitas di dekat layar yang menampilkan data saham di PT Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Rabu (2/8/2023). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai beraktivitas di dekat layar yang menampilkan data saham di PT Bursa Efek Indonesia di Jakarta, Rabu (2/8/2023). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi tipis selama sepekan perdagangan dan belum menyentuh kembali level Rp7.000.

Pada perdagangan hari ini, Jumat (29/9/2023), IHSG ditutup menguat 2,06 poin atau 0,03 persen menuju level Rp6.939,89. Sebanyak 269 saham membukukan kenaikan, 265 saham menurun, dan 215 saham stagnan. Total kapitalisasi pasar tercatat sebesar Rp10.321,13 triliun.  

IHSG selama sepekan terakhir mengalami koreksi sebesar 0,19 persen. Nanum, sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YtD), indeks masih mencatatkan penguatan sebesar 1,30 persen.

Di sisi lain, IHSG juga belum menyentuh kembali level Rp7.000 selama sepekan terakhir. Indeks composite ini tercatat meraih posisi tersebut pada perdagangan 22 September 2023.

Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas Roger MM mengatakan ada beberapa faktor yang membuat IHSG sulit mencapai konsensus dan menembus level 7.000. Salah satunya datang dari suku bunga The Fed, yang berpeluang naik kembali.

“Kenaikan suku bunga Amerika Serikat [AS] memiliki dampak pelemahan rupiah, ini merupakan sebab akibat dalam ekonomi,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (29/9/2023).

Sebagaimana diketahui, The Fed tetap hawkish dengan mempertahankan tingkat suku bunga tinggi di level 5,25 persen hingga 5,50 persen. Bank sentral Amerika Serikat ini turut mengisyaratkan adanya kenaikan lagi sebelum menutup tahun 2023.

Roger juga menuturkan faktor lain datang dari inflasi AS yang belum jinak. Indeks Harga Konsumen (IHK) inti AS, yang mengecualikan harga pangan dan energi, pada Agustus tercatat naik 0,3 persen secara bulanan, dan tumbuh 4,3 persen year-on-year (YoY).

Selain itu, dia mengatakan kenaikan harga minyak diprediksi menjadi tekanan baru. Saat ini, laju harga minyak mentah mendekati level US$100 per barel di tengah defisit global yang semakin meningkat dan penurunan stok pada penyimpanan utama di AS.

 “Kenaikan minyak akan menjadi tekanan baru kepada ekonomi global,” kata Roger.

 Pasalnya, harga minyak yang mendekati US$100 per barel berpeluang memicu ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap tinggi lebih lama dan meningkatkan tekanan pada pasar global.

Dalam pemberitaan Bisnis sebelumnya, mahar per barel untuk minyak West Texas Intermediate atau Texas light sweet sempat melebihi US$95 untuk pertama kalinya dalam lebih dari setahun, setelah melonjak 3,6 persen pada 27 September lalu.

Salah satu sentimen pendorongnya adalah persediaan di Cushing, Oklahoma, titik pengiriman untuk minyak standar AS,yang turun hampir 22 juta barel, terendah sejak Juli 2022 dan mendekati batas operasional minimum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper