Bisnis.com, JAKARTA — Perdagangan perdana Bursa Karbon pada Selasa (26/9/2023) dimeriahkan oleh sektor perbankan yang menjadi pembeli unit karbon terbanyak dibandingkan perusahaan-perusahaan sektor lain.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai penyelenggara Bursa Karbon,total volume pada perdagangan perdana mencapai 459.953 ton unit karbon. Transaksi yang tercatat hingga penutupan adalah 27 kali transaksi.
Terdapat 15 pengguna jasa yang tercatat sebagai pembeli, dan 1 pengguna jasa yang berperan sebagai penjual.
Adapun, ke 15 perusahaan yang berperan sebagai pembeli Unit Karbon pada perdagangan perdana IDXCarbon, di antaranya adalah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA), PT Bank DBS Indonesia, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI).
Lalu PT BNI Sekuritas, PT BRI Danareksa Sekuritas, PT CarbonX Bumi Harmoni, PT MMS Group Indonesia, PT Multi Optimal Riset dan Edukasi, dan anak usaha PT United Tractors Tbk. (UNTR) yakni PT Pamapersada Nusantara.
Selain itu, beberapa anak usaha PT Pertamina (Persero) juga turut menjadi pembeli unit karbon seperti PT Pelita Air Service, PT Pertamina Hulu Energi, dan PT Pertamina Patra Niaga.
Baca Juga
Alasan Sektor Perbankan Paling Dominan Jadi Pembeli Unit Karbon
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK Inarno Djajdi mengatakan, alasan banyaknya pembeli dari sektor perbankan adalah karena perusahaan tersebut ingin dilabeli sebagai bank yang hijau.
"Dan untuk mencapai hal tersebut, ada kriterianya. Salah satunya selalu melakukan verifikasi sustainalitycs," ujar Inarno dalam konferensi pers di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (26/9/2023).
Oleh karena itu, lanjut Inarno, hari ini terdapat beberapa bank yang berinisiatif untuk melakukan pembelian unit karbon tersebut.
Sementara itu, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman mengatakan pihaknya telah melakukan roadshow ke beberapa perbankan dan menurutnya, perbankan mendorong program environmental, social, and governance (ESG) mereka.
"Kalau berkaca dari negeri jiran, 7 dari 14 user mereka perbankan," ujar Iman dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, menurut Iman perusahaan-perusahaan perbankan cepat menerima keberadaan Bursa Karbon saat BEI melakukan road show sosialisasi.
"Waktu kami dapat izin untuk sosialisasi perlu waktu. Teman-teman perbankan cepat menerima hal ini," tutur dia.
Sementara itu, Penyedia Unit Karbon atau penjual pada perdagangan perdana kali ini adalah Pertamina New and Renewable Energy (PNRE) yang menyediakan Unit Karbon dari Proyek Lahendong Unit 5 dan Unit 6 PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO).
CEO Pertamina NRE Dannif Danusaputro mengatakan Pertamina RNE merupakan aggregator pasar karbon Grup Pertamina memiliki kredit karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi Lahendong Unit 5 dan 6, dengan volume sekitar 864 ribu tCO2e, yang dihasilkan selama periode 2016 – 2020.
“Kredit karbon ini telah memenuhi standar nasional yang ditetapkan oleh KLHK,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa (26/9/2023).
Pada perdagangan perdananya, Pertamina NRE menjual unit karbon yaitu dari PLTP Lahendong Unit 5 dan 6. Pertamina NRE mengklaim unit yang dijual langsung habis terjual pasar.
Selain menjual unit dari PLTP milik PGEO, Pertamina NRE juga akan mengembangkan proyek melalui kerja sama 9 konsensi kehutanan dengan Perhutani.
“Dalam jangka menengah kami juga mengembangkan proyek-proyek nature & ecosystem-based solutions (NEBS), salah satunya melalui kerjasama 9 konsesi kehutanan dengan Perhutani.” ujar Dannif Danusaputro.
Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan perdagangan karbon ini merupakan suatu milestone yang sangat penting dan strategis bagi Pertamina karena merupakan wujud nyata dari komitmen Pertamina untuk terus mengakselerasi transisi energi menuju Net Zero Emission.
Nicke menambahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga, Bursa Karbon Indonesia ini berjalan dengan cepat dengan volume yang besar.
Perbandingan Bursa Karbon Indonesia dengan ASEAN
Senada, Kepala Eksekutif Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar juga mengatakan, Bursa Karbon Indonesia akan menjadi salah satu bursa karbon terbesar dan terpenting di dunia. Sebab, di Indonesia, volume maupun keragaman unit karbon yang akan diperdagangkan cenderung lebih besar.
Dia menyebut, selain dari subsektor pembangkit tenaga listrik, perdagangan karbon juga akan diramaikan oleh sektor kehutanan, pertanian, limbah, minyak dan gas, industri umum, dan sektor kelautan.
Sebagai perbandingan, penjualan unit karbon di Bursa Karbon Malaysia (Bursa Carbon Exchange/BCX) pada saat perdagangan perdana tanggal 16 Maret 2023 lalu tercatat sebanyak 150.000 kredit karbon dari 15 perusahaan yang berpartisipasi sebagai pembeli.
Bursa Malaysia menuturkan bahwa terdapat dua produk baru yang ditawarkan oleh BCX, yakni kontrak karbon berbasis teknologi global atau Gloval Technology-Based Carbon Contract (GTC) dan Global Nature-Based Plus Carbon Contract (GNC+).
Kontrak GTC menampilkan kredit karbon dari proyek pemulihan dan pembangkit Biogas Linshu di China. Kontrak GTC ini mendapatkan permintaan lebih banyak dari yang tersedia dan dijual pada harga RM18,50 per kontrak.
Sementara itu, kontrak GNC+ menampilkan kredit karbon dari proyek Southern Cardamom yang merupakan proyek REDD+ dari Kamboja. Kontrak ini mencapai harga kliring sebesar RM68 per kontrak dalam lelang.
Sementara pada Bursa Karbon Singapura (Climate Impact X/CIX) mencatatkan penjualan unit karbon sebanyak 250.000 ton pada perdagangan bulan November tahun 2022.
Kredit-kredit tersebut diterbitkan tahun lalu dan dihasilkan dari proyek Delta Blue Carbon Pakistan, yang merupakan proyek restorasi mangrove terbesar di dunia.
Sementara itu, Negeri Gajah Putih juga tercatat telah meluncurkan voluntary carbon credit exchange dengan The Federation of Thai Industries menjadi penyelenggara dari perdagangan karbon tersebut. Pasar karbon ini terdiri dari sekitar 12.000 perusahaan swasta dari 45 sektor di Thailand.
Platform ini memungkinkan perusahaan dan lembaga pemerintah untuk membeli dan menjual kredit karbon, serta melacak emisi mereka. Akan tetapi, belum terdapat data transaksi yang tercatat dari platform ini.
Sebagai catatan, pada perdagangan perdananya, Bursa Karbon Indonesia mencatatkan total volume 459.953 ton unit karbon. Harga Karbon pada pasar reguler juga mengalami peningkatan. Bursa mencatat harga karbon pada Rp77.000 saat penutupan kemarin. Artinya, harga unit karbon yang diperdagangkan tersebut naik 10,63 persen dari harga pembukaan sebesar Rp69.600.
Kendati berhasil mencatatkan volume penjualan yang cukup impresif di hari perdagangan perdana, terdapat beberapa hal yang dapat dibenahi segera dalam penyelenggaraan Bursa Karbon ini.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bachtiar menuturkan saat ini Bursa Karbon masih baru, sehingga memerlukan sosialisasi yang massif agar dipahami oleh berbagai pihak.
"Hal yang penting adalah pengaturan tata niaganya, serta melengkapi regulasi agar tercipta jaminan dan kepastian hukum," ujar Bisman, dihubungi Selasa (26/9/2023).
Selain itu, faktor pengawasan oleh pemerintah menurutnya juga penting untuk mencegah potensi adanya penyimpangan dan masalah hukum ke depan.
Dia melanjutkan, apabila penyelenggaraan Bursa Karbon telah berjalan dengan baik, hal ini akan sangat efektif. Pasalnya terdapat insentif dan disinsentif terhadap industri yang menghasilkan emisi besar dan sebaliknya, insentif bagi usaha yang menyerap emisi dan rendah karbon.
"Dengan demikian secara bertahap semua industri akan mempertimbangkan emisinya dan mengarah ke transisi energi untuk menuju net zero emission," kata Bisman.