Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak melemah pada akhir perdagangan Kamis (7/9/2023), dengan Brent yang menjadi patokan global jatuh di bawah US$90 per barel.
Harga minyak menurun, menghentikan reli hampir dua minggu, di tengah berbagai sinyal peringatan melemahnya permintaan dalam beberapa bulan mendatang, mengutip Antara.
Harga minyak Brent untuk pengiriman November ditutup turun 68 sen atau 0,8 persen menjadi US$89,92 per barel di London ICE Futures Exchange. Harga minyak WTI untuk pengiriman Oktober tergelincir 67 sen atau 0,8 persen menjadi US$86,67 per barel.
Penurunan harga minyak pada Kamis (7/9/2023) terjadi setelah kenaikan WTI selama sembilan sesi berturut-turut dan kenaikan Brent selama tujuh sesi berturut-turut.
Harga minyak juga melonjak pada awal pekan ini setelah Arab Saudi dan Rusia, dua eksportir minyak terbesar dunia, memperpanjang pengurangan pasokan secara sukarela hingga akhir tahun.
Pemotongan ini merupakan tambahan dari pemotongan produksi pada April yang disepakati oleh beberapa produsen OPEC+ yang berlaku hingga akhir tahun 2024.
Baca Juga
“Minyak mentah berjangka merasakan tekanan korektif dari level tertinggi baru dalam indeks dolar AS serta melemahnya angka ekonomi dari zona euro, di mana aktivitas ekonomi tumbuh sebesar 0,1 persen terhadap perkiraan 0,3 persen,” kata Dennis Kissler, wakil presiden senior perdagangan di BOK Financial.
Dolar menguat, menekan yen ke level terendah dalam 10 bulan serta menekan euro dan sterling ke level terlemahnya dalam tiga bulan, karena investor menaruh taruhan mereka pada perekonomian AS yang masih tangguh. Penguatan dolar meningkatkan biaya pembelian minyak dalam mata uang greenback bagi pemegang mata uang lainnya.
Pelaku pasar juga mencerna data beragam dari China. Ekspor secara keseluruhan turun 8,8 persen pada Agustus secara tahun ke tahun dan impor mengalami kontraksi 7,3 persen. Namun impor minyak mentah melonjak 30,9 persen.
“Ekspor produk China yang meningkat pada bulan lalu, meskipun impor minyak mentah meningkat,” kata analis PVM Oil Tamas Varga.
Kekhawatiran mengenai peningkatan produksi minyak dari Iran dan Venezuela, yang dapat mengimbangi pengurangan produksi dari Saudi dan Rusia, juga membatasi pasar.
Namun, permintaan AS tetap kuat, karena stok minyak mentah turun sebesar 6,3 juta barel pada minggu lalu, penurunan selama empat minggu berturut-turut dan turun lebih dari 6,0 persen pada bulan lalu, menurut data pemerintah.
“Saat ini, sangat sulit bagi kami untuk melihat faktor negatif apa pun karena keterbatasan pasokan,” kata Leon Li, analis CMC Markets yang berbasis di Shanghai.
"Namun, kita perlu mempertimbangkan kemungkinan risiko permintaan seperti pada kuartal keempat, pasar dapat melambat memasuki musim konsumsi minyak di luar waktu sibuk setelah permintaan musim panas berakhir."
Pengamat pasar modal sekaligus Founder Traderindo.com Wahyu Triwibowo Laksono mengatakan kenaikan harga minyak memang menguntungkan sektor energi jangka pendek. Namun dalam jangka menengah, ada ancaman krisis ekonomi sebagai akibat dari naiknya harga minyak dan respon The Fed terhadap suku bunga.
Secara lebih rinci, Wahyu menerangkan bahwa dalam jangka menengah, suku bunga The Fed serta dolar akan mengekor kenaikan harga minyak dunia. Hal tersebut akan menjadi beban bagi ekonomi global saat ekonomi AS masih rentan.
Selain kondisi ekonomi AS yang masih rentan, ekonomi China juga masih dibayangi ancaman akibat pertumbuhan yang lambat.