Bisnis.com, JAKARTA - Sulitnya menjinakkan inflasi di Amerika Serikat (AS), diiringi dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan upah yang meninggi, mendorong bank sentral mereka (The Fed) masih merespons dengan menaikkan suku bunga acuan (Fed Rate) di tahun ini.
Setidaknya selama 2023, The Fed telah tercatat menaikkan 100 bps Fed Rate, atau secara kumulatif telah meningkat 11 kali sejak awal 2002.
Dengan hal tersebut, Fed Rate saat ini telah mencapai angka 5,25%—5,50%, yang merupakan tingkat tertinggi dalam 22 tahun terakhir.
Belum cukup sampai disitu, pada Jumat (25 Agustus 2023), Jerome Powell masih mengingatkan bahwa Fed Rate masih akan berada di level yang tinggi (higher-for-longer) dan masih membuka kemungkinan akan meningkatkan Fed Rate tersebut jika tingkat inflasi masih jauh dari target inflasi mereka senilai 2%.
Akibatnya, pasar turut merespons dengan mengasumsikan bahwa Fed Rate masih akan mungkin naik satu kali lagi atau meningkat 25 bps dari nilai saat ini dan akan berada antara 5,50% hingga 5,75% di pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) 1 November 2023 atau paling lambat di FOMC 13 Desember 2023.
Sementara, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di 24 Agustus 2023, BI kembali menyiratkan stance prosiklikal mereka dengan tetap mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di angka 5,75%.
Baca Juga
Sehingga sejak 19 Januari 2023, dapat dilihat bahwa tidak ada perubahan BI7DRR. Hal yang tentunya cukup berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Fed Rate.
Dan saat ini, perbedaan suku bunga acuan (interest rate differential) antara The Fed dan BI hanya berjarak 25 bps, yang merupakan nilai terendah sejak BI7DRR diluncurkan pada 19 Agustus 2016.
Walaupun begitu, keputusan BI tersebut didasari oleh kondisi inflasi yang lebih terkendali dan tetap terjaga. Bahkan, BI memperkirakan inflasi BI makin melandai hingga akhir 2023 dan diharapkan berada di angka 2,9% year-on-year (YoY), dari 3,08% YoY di Juli 2023.
Sehingga merujuk pada Chicago Theory of Money dan konsep Neutral Real Interest Rate yang mencermati adanya hubungan nilai tukar dengan suku bunga riil (atau suku bunga nominal yang disesuaikan dengan inflasi), seharusnya aliran modal masih akan menuju Indonesia seiring dari inflasi yang lebih terkendali di dalam negeri walaupun nantinya Fed Rate dan Bi7DRR berada di tingkat yang sama.
Namun, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga perlu dilihat secara menyeluruh. Meningkatnya penerbitan surat utang di AS, dengan ekspektasi kenaikan dari US$11 miliar di Agustus 2023 dan terus meningkat 60% hingga mencapai US$354 miliar di Agustus 2024 mendatang; di samping peningkatan risiko pelemahan ekonomi China; dan dorongan dedolarisasi yang diinisiasi melalui Local Currency Transaction antara Indonesia dengan Malaysia, Thailand, China dan Jepang juga perlu menjadi perhatian.
Sehingga, walaupun nilai tukar rupiah masih menguat 2,33% year-to-date (YtD) (per 28 Agustus 2023) di saat US$ indeks naik 0,21% YtD, tetapi depresiasi yang terjadi di negara kawasan tentu menjadi kekhawatiran lain bagi pelaku ekonomi dalam negeri. Misalnya depresiasi 0,82% dolar Singapura; 1,54% Thailand baht; 1,81% peso Filipina; dan 5,07% ringgit Malaysia yang melemah hingga 5,07% YtD.
Apalagi depresiasi dikhawatirkan memberikan risiko tambahan berupa imported inflation di tengah kenaikan harga komoditas energi dan pangan global yang berlangsung sejak pertengahan Juni 2023.
Selain itu, dalam periode 31 Juli—24 Agustus 2023, persepsi risiko investasi Indonesia yang diindikasikan Credit Default Swap (CDS) 5 tahun telah naik 10,82 poin; rupiah pun terdepresiasi sebesar 1,26%; IHSG turun 0,68%, dan yield SUN 10 tahun naik 28,0 bps.
Karenanya sangat dipahami bahwa dorongan likuiditas dalam negeri dengan dorongan efektivitas implementasi Penerimaan Devisa dari Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) dan diterbitkannya Surat Berharga Rupiah BI (SRBI) pada 15 September 2023 mendatang menjadi kebijakan pro-cyclical yang diharapkan berdampak positif bagi stabilitas rupiah nantinya.
Mengingat defisit transaksi berjalan kembali terjadi pada triwulan II/2023, setelah terakhir kali berlangsung pada 2 tahun sebelumnya, walau neraca perdagangan di periode yang sama masih tercatat surplus US$8,03 miliar.
Bersamaan dengan itu, kebijakan dalam mendorong kredit/pembiayaan domestik di sektor penghiliran (minerba, pertanian, peternakan, perikanan); perumahan; pariwisata; inklusivitas (termasuk UKM, KUR); dan ultramikro, serta inisiatif ekonomi hijau diharapkan mendorong penguatan permintaan domestik yang sejalan dengan peningkatan konsumsi rumah tangga dan pemerintah; serta peningkatan investasi.
Langkah-langkah tersebut juga dapat didukung oleh likuiditas domestik yang longgar, yang diindikasikan dengan rasio dana pihak ketiga terhadap simpanan (AL/DPK) perbankan yang mencapai 26,57% pada Juli 2023. Hal ini diharapkan dapat menjadi tameng dari volatilitas ekonomi global, menjaga stabilitas makroekonomi domestik dan turut mendorong performa berbagai kelas aset di sektor keuangan.