Bisnis.com, JAKARTA — Prospek penerbitan obligasi korporasi pada sisa 2023 masih positif seiring dengan melandainya imbal hasil surat utang negara acuan tenor 10 tahun. Penerbitan surat utang masih menjadi alternatif pendanaan yang menarik, terutama untuk perusahaan yang berencana ekspansi pada masa pemulihan.
Secara tahun berjalan, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat realisasi emisi obligasi dan sukuk korporasi mencapai Rp74,1 triliun dari 47 perusahaan. Realisasi tersebut hampir separuh dari realisasi setahun penuh pada 2022 yakni Rp156,33 triliun.
Maraknya penerbitan obligasi dan sukuk korporasi juga mendapatkan dukungan dari kondisi pasar surat utang yang menguat. Hal itu tecermin dari imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) acuan tenor 10 tahun pada kisaran 6,3 persen dan berpotensi melandai ke 6,1 persen. Melandainya imbal hasil ini akan memangkas biaya dana bagi korporasi yang ingin mencari dana segar lewat emisi obligasi dan sukuk.
Senior Economist Mirae Asset Sekuritas Rully Wisnubroto mengemukakan imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang lebih rendah daripada tahun lalu menjadi katalis positif bagi penerbitan obligasi korporasi pada sisa 2023.
“Saya merasa imbal hasil surat berharga negara (SBN) tenor 10 tahun masih berpotensi untuk turun sampai dengan akhir tahun dan penurunan ini akan berlanjut hingga 2024,” kata Rully kepada Bisnis, Selasa (8/8/2023).
Dia menjelaskan prospek penurunan imbal hasil didorong oleh inflasi yang akan terus berlanjut menurun sampai dengan akhir tahun. Mirae Asset memperkirakan inflasi bisa turun ke 2,55 persen sampai dengan akhir tahun.
Baca Juga
“Saat ini memang pasar masih diliputi oleh ketidakpastian kapan The Fed akan menghentikan kenaikan suku bunga. Namun begitu sudah ada kepastian akan terminal rate The Fed, kami rasa yield trend nya akan terus turun,” lanjut Rully.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan penerbitan obligasi korporasi pada 2023 berpotensi menyamai capaian 2022 seiring dengan kebutuhan pendanaan perusahaan yang tinggi.
Di sisi lain, dia mencatat minat perusahaan untuk mengambil utang luar negeri juga cenderung turun, sementara emisi obligasi dan saham baru tetap tinggi. Penurunan imbal hasil surat utang pemerintah sendiri menjadi momentum karena menurunkan risiko gagal bayar utang (sovereign risk).
Estimasi positif ini disematkan David meskipun pasar obligasi korporasi diwarnai isu gagal bayar surat utang oleh BUMN Karya. Dia menilai fenomena tersebut tidak akan berdampak signifikan pada prospek penerbitan obligasi korporasi karena sektor lainnya memiliki prognosis yang baik.
“Ada banyak sektor lain yang menarik, terlebih dengan proses pemulihan yang berlanjut akan mendorong perusahaan mencari pendanaan untuk mendukung ekspansinya,” katanya.
Senada, Rully mengatakan bahwa pasar telah menghindari sektor karya sejak tahun lalu. Namun sektor lain masih memiliki daya tarik, terutama yang terkait dengan aktivitas ekonomi domestik seperti otomotif serta telekomunikasi.
“Selain melihat peringkat, investor bisa melihat posisi keuangan korporasi secara lebih teliti. Beberapa rasio keuangan yang bisa diperhatikan adalah arus kas, interest coverage, rasio likuiditas serta komposisi utangnya,” kata Rully.