Bisnis.com, JAKARTA — Penerbitan surat utang korporasi pada Juli 2023 mencetak rekor tertinggi sepanjang tahun. Hal ini diikuti dengan prospek penerbitan yang masih positif di sisa 2023.
Berdasarkan data PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), penerbitan surat utang korporasi pada Juli 2023 mencapai Rp29,12 triliun. Nominal tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai obligasi yang jatuh tempo yakni Rp14,91 triliun.
“Kami maklum jika penerbitan pada Juli 2023 cukup tinggi karena pasar memasuki periode di mana angka jatuh tempo adalah lebih tinggi,” kata Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin dalam jawaban tertulis kepada Bisnis, Selasa (8/8/2023).
Dia mencatat angka jatuh tempo akan memuncak pada September 2023 dengan nilai mencapai Rp19,28 triliun. Sementara itu, secara kumulatif, total jatuh tempo selama Juli—Desember mencapai Rp75,49 triliun atau Rp24,09 triliun lebih tinggi dibandingkan dengan semester pertama 2023.
“Kemudian, secara kumulatif selama Januari—Juli 2023, penerbitan surat utang korporasi terkontraksi sekitar 20 persen dari periode yang sama pada 2022 ketika penerbitan mencapai Rp94 triliun,” kata Ahmad.
Menghadapi sisa 2023, Pefindo mengharapkan penerbitan surat utang korporasi akan tetap terjaga. Meskipun demikian, Pefindo melihat penerbitan pada 2023 ini tidak akan setinggi tahun lalu karena sejumlah faktor.
Baca Juga
Dari faktor pendorong (upside), Ahmad menjelaskan bahwa angka jatuh tempo pada semester II/2023 yang mencapai Rp75,49 triliun lebih tinggi dibandingkan dengan semester I/2023 sebesar Rp51,40 triliun. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang solid membuat permintaan terhadap barang dan jasa terjaga dan memantik kebutuhan pendanaan untuk modal kerja dan investasi perusahaan.
Ahmad juga menyoroti faktor tingkat kupon yang kompetitif dibandingkan dengan pinjaman perbankan. Tingkat kupon untuk peringkat A (single-A) ke atas cenderung lebih rendah dibandingkan dengan bunga pinjaman modal kerja dan investasi bank.
Di tengah faktor pendorong ini, terdapat pula sejumlah faktor penghambat. Ahmad mengatakan lingkungan bunga tinggi yang terus bertahan meningkatkan leverage keuangan dan mendorong investor meminta premi yang lebih tinggi.
“Hal ini membuat cost of fund menjadi lebih mahal,” kata dia.
Likuiditas perbankan saat ini juga cenderung masih ample sehingga menurunkan kebutuhan untuk menerbitkan surat utang, padahal, kata Ahmad, sektor multifinance dan perbankan adalah kontributor utama bagi penerbitan dalam beberapa tahun terakhir.
Downside factor lainnya datang dari strategi front loading 2022 yang mendorong perusahaan menerbitkan surat utang pada tahun lalu untuk mendapatkan bunga rendah, terutama saat semester pertama. Akibatnya, insentif untuk penerbitan pada tahun ini cenderung berkurang.
Momentum masa kampanye dan Pemilihan Umum 2024 turut mempengaruhi keputusan korporasi untuk menerbitkan obligasi. Ahmad menilai pasar masih menantikan arah kebijakan kepemimpinan yang baru dan masa tunggu ini cenderung diiringi dengan ketidakpastian yang tinggi.
“Terakhir, siklus komoditas telah menuju akhir dan mengurangi kebutuhan untuk menerbitkan surat utang. Ini berlaku juga untuk sektor siklikal lainnya seperti bahan baku,” kata dia.