Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah bakal mulai memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) pada 1 Agustus 2023.
Melalui regulasi ini, eksportir sumber daya alam dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, hingga perikanan wajib menempatkan minimal 30 persen hasil ekspornya dalam sistem keuangan Indonesia paling singkat selama 3 bulan.
Sektor perkebunan sawit menjadi salah satu yang turut terimbas kebijakan ini. Minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya merupakan salah satu komoditas penyumbang devisa ekspor terbesar bagi Indonesia.
Corporate Secretary PT Triputra Agro Persada Tbk. (TAPG) Joni Tjeng mengemukakan kebijakan DHE memiliki tujuan baik karena dapat berkontribusi optimal dalam hal penempatan dana melalui perbankan Indonesia. Hal ini dia nilai dapat mendukung pasar keuangan yang lebih sehat dan menjaga stabilitas rupiah.
“Namun kami tidak terdampak langsung dari kebijakan ini karena penjualan perseroan selama ini fokus pada pasar domestik,” kata Joni dalam keterangan tertulis, Kamis (20/7/2023).
Per Maret 2023, total pendapatan bersih Triputra Agro turun 12 persen secara tahunan sehingga menjadi Rp1,92 triliun. Sementara itu, laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk turun 66,26 persen year on year (YoY) menjadi Rp294,70 miliar dibandingkan dengan kuartal I/2022 sebesar Rp873,50 miliar.
Baca Juga
Di tengah implementasi kebijakan baru ini, sektor perkebunan sawit sejatinya tengah dihadapkan dengan risiko iklim ekstrem. Riset BRI Danareksa Sekuritas menyebutkan bahwa CPO menjadi komoditas yang bisa terimbas fenomena El Nino dan berdampak pada tingkat inflasi jika pasokannya terganggu.
“Beras dan minyak sawit berkontribusi sekitar 4,2 persen pada inflasi. Bappenas memperkirakan produksi beras bisa turun 1—5 persen saat El Nino dan penurunan produksi CPO bisa memicu kenaikan harga minyak goreng,” tulis BRI Danareksa.
Analisis yang dilakukan BRI Danareksa Sekuritas memperlihatkan bahwa harga CPO cenderung naik sekitar 5,5 persen saat El Nino dan melesat hingga 16 persen dalam 12 bulan setelahnya.
Meski dampak dari dinamika iklim akan sangat dipengaruhi pada intensitas dan durasinya, kehadiran El Nino diyakini tetap memberi ancaman, terutama pada tingkat inflasi, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan nilai tukar petani.
“Antisipasi dini dan manajemen stok bisa menekan dampak negatif dari El Nino. Begitu pula dengan operasi pasar,” tulis BRI Danareksa.