Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investor Turunkan Prospek Pasar Saham Asia, Gara-gara China

Indeks saham di Asia diprediksi akan mengakhiri tahun 2023 di bawah level Maret 2022.
Salah satu layar perdagangan di bursa saham China./Bloomberg
Salah satu layar perdagangan di bursa saham China./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Investor menurunkan ekspektasi mereka terhadap bursa saham Asia tahun ini lantaran optimisme memudar terhadap prospek kebijakan moneter yang lebih longgar dan prospek ekonomi China.

Bursa saham Asia, khususnya Bursa Asia Tenggara merupakan yang berkinerja paling buruk di dunia sepanjang tahun ini. Secara year-to-date hingga 4 Juli 2023, indeks saham di Malaysia turun 6,89 persen, indeks saham di Thailand anjlok 9,15 persen, indeks saham di Singapura merosot 1,57 persen, dan indeks saham di Filipina melemah 0,79 persen.

Adapun di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok 2,46 persen. Berbeda nasib, Vietnam merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang mencetak keuntungan, di mana indeks sahamnya naik 12,40 persen secara ytd.

Mengutip Bloomberg, Rabu (5/7/2023), menurunnya ekspektasi investor di Asia merupakan pandangan sebagian besar dari 17 ahli strategi dan manajer investasi yang disurvei oleh Bloomberg News.

Berdasarkan rata-rata 13 tanggapan terhadap jajak pendapat akhir bulan lalu, Indeks MSCI Asia Pacific diharapkan bakal naik menjadi 174 pada akhir tahun 2023.

Prakiraan tersebut menyiratkan kenaikan 5 persen dari penutupan Selasa (4/6/2023), dan turun dibandingkan dengan level 178,5 yang diprediksi dalam survei serupa Bloomberg tiga bulan lalu.

Jika prediksi tersebut terbukti, indeks Asia akan mengakhiri tahun di bawah level Maret 2022, yakni ketika Federal Reserve menyampaikan kenaikan suku bunga pertamanya dalam tiga tahun. Ini menyiratkan bahwa investor belum siap untuk mempertimbangkan perubahan kebijakan moneter yang signifikan.

Sebagian besar peserta survei mengatakan mereka telah meningkatkan, atau menyarankan orang lain untuk menaikkan, kepemilikan portofolio investasi di saham-saham perusahaan terkait semikonduktor, serta saham defensif yang tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan ekonomi.

Beberapa peserta survei juga melihat peluang dalam mengalihkan dana secara geografis untuk mengantisipasi kenaikan saham Asia yang lebih cepat daripada rekan-rekan global.

“Kami melihat peluang jangka menengah terbuka sekali lagi untuk mengalihkan alokasi dari Barat ke Timur,” kata Michael Kelly, kepala multi-aset global di PineBridge Investments.

Meskipun pertumbuhan pendapatan emiten di Asia dan pasar negara berkembang telah terhenti dan prospek kebijakan China masih belum jelas, Kelly melihat valuasi menarik bagi investor ke wilayah tersebut.

“Kelas aset negara berkembang Asia dan lainnya dihargai secara menarik, relatif terhadap sebagian besar pasar inti, dinamika yang belum pernah terjadi selama beberapa waktu,” jelasnya

Indeks saham regional Asia telah mengungguli Indeks S&P 500 sekitar 10 persen tahun ini, meningkatkan diskon valuasinya menjadi 29 persen terhadap Indeks AS dari 25 persem pada awal tahun, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.

Indeks MSCI Asia Pacific diperdagangkan sekitar 14 kali lipat dari earnings satu tahun ke depan, sedangkan Indeks S&P 500 berdiri di 19 kali lipat.

Pada Rabu (5/6/2023), indeks regional turun sebanyak 0,7 persen karena pertumbuhan yang lebih lambat di sektor jasa China menambah sinyal bahwa pemulihan ekonomi negara tersebut melemah. Saham-saham turun di sebagian besar pasar Asia-Pasifik setelah liburan di AS.

China adalah Kunci

Head of Prime Brokerage Maybank Securities Tareck Horchani memiliki pandangan paling bearish, dengan target 156 untuk MSCI Asia Pasific. Ini dikaitkan dengan ekspektasinya bahwa saham-saham di China akan terus menjadi hambatan.

Di sisi lain Analis Aletheia Capital Nirgunan Tiruchelvam dan analis Oanda Asia Pacific Pte. Kelvin Wong memiliki pandangan paling bullish, masing-masing melihat MSCI Asia Pacific menjadi 190 pada akhir 2023.

Di antara pasar lain, saham India dan Jepang mungkin mendapat dorongan dari pertumbuhan ekonomi yang membaik dan kebijakan yang mendukung. Saham-saham di Asia Tenggara, bagaimanapun, tidak dipandang baik, kebalikan dari jajak pendapat sebelumnya.

Saham-saham teknologi terlihat diuntungkan dari potensi kecerdasan buatan, sementara pandangan terpecah pada saham-saham sektor keuangan karena pertemuan dari pertumbuhan ekonomi yang melambat dan suku bunga yang tinggi.

“Kami mempertahankan prospek positif untuk saham teknologi Asia, khususnya semikonduktor, yang diuntungkan oleh penarik sekuler yang kuat seperti digitalisasi dan kecerdasan buatan, serta tanda-tanda tentatif bahwa siklusnya mencapai titik terendah,” kata Christian Abuide, kepala alokasi aset Lombard Odier.

Berbagai sentimen seperti kenaikan suku bunga berkelanjutan oleh Federal Reserve, ketegangan antara Washington dan Beijing dan ekonomi China yang melambat dianggap oleh responden sebagai faktor yang paling mungkin menggagalkan prospek pasar saham Asia, sementara peluang mungkin muncul jika The Fed melunakkan sikap kebijakan moneternya.

"Risiko terbesar pada paruh kedua kemungkinan besar akan berasal dari pandangan yang lebih negatif pada pertumbuhan global atau penguatan dolar AS, serta ketegangan geopolitik," kata Hilde Jenssen, kepala ekuitas fundamental di Nordea Asset.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Farid Firdaus
Editor : Farid Firdaus
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper