Bisnis.com, JAKARTA — Pasar keuangan global dan dalam negeri masih diselimuti ketidakpastian menyusul keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga atau Fed Fund Rate (FFR) di level 5,25 persen pada pertemuan 13—14 Juni 2023. Investor disarankan untuk kembali meninjau portofolionya untuk mengoptimalkan potensi keuntungan.
Research and Consulting Manager Infovesta Kapital Advisori Nicodimus Kristiantoro mengatakan hasil pertemuan The Fed pekan lalu akan membuat pasar obligasi diwarnai aksi profit taking sementara pada semester kedua 2023.
“Ini karena selama semester pertama instrumen surat utang sudah mencatatkan penurunan yield yang cukup signifikan. Saat ini posisi yield 10 tahun sudah di level 6,35 persen,” kata Nicodimus, Jumat (16/6/2023).
Saat momentum ambil untung berlalu, Nicodimus memperkirakan obligasi akan bergerak lebih stabil. Kenaikan suku bunga The Fed memang bisa menahan laju gerak pasar obligasi, tetapi investor masih bisa berharap yield surat utang domestik akan kembali naik.
“Dampak positif juga bisa dirasakan dengan kenaikan yield. Harga obligasi akan kembali murah dan kembali bisa mendorong masuknya dana-dana investor asing. Jadi pasar obligasi masih ada prospek pada sisa tahun,” katanya.
Sementara itu, pasar saham yang telah mengalami penurunan sepanjang 2023 berpotensi membukukan kenaikan yang lebih tinggi daripada obligasi, terutama pada semester kedua.
Baca Juga
Potensi penguatan pasar saham pada semester kedua sejalan dengan euforia kampanye menjelang Pemilihan Umum 2023 yang meningkat. Pesta demokrasi disebut Nico akan meningkatkan peredaran uang dan mendorong aktivitas belanja.
“Ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dan akan berimbas pada kenaikan harga saham,” tambahnya.
Dalam situasi masih terdapat ruang bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga di sisa tahun, Nicodimus mengatakan investor bisa menerapkan strategi aktif dengan melakukan rebalancing portofolio secara berkala.
Dia mengatakan investor saat ini bisa lebih menyasar saham dengan kriteria fundamental baik dengan prospek industri yang prospektif dan undervalued. Nico mengatakan strategi ini bisa disandingkan dengan metode hold to maturity (HTM) pada obligasi negara tenor panjang yang dinilai masih undervalued dan obligasi korporasi dengan minimal rating A.
“Sediakan juga dana cadangan untuk menjadi senjata tambahan ketika pasar bergerak tidak sesuai ekspektasi” kata Nico.