Bisnis.com, JAKARTA — Langkah The Fed untuk mempertahankan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) di level 5,25 persen bisa membawa dampak positif bagi pasar keuangan global dalam jangka pendek. Meskipun pasar masih diwarnai ketidakpastian, investor tetap bisa memetik peluang.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mencatat kinerja pasar keuangan yang positif terlihat pada arus modal di pasar surat berharga negara (SBN) sepanjang Juni 2023. Arus modal asing tercatat naik sekitar US$496,8 juta ketika performa indeks dolar Amerika Serikat melemah sekitar 1,3 persen sepanjang Juni 2023. Di sisi lain, pasar saham memperlihatkan aksi jual bersih US$113,3 juta.
Suku bunga The Fed yang tetap di level 5,25 persen juga berdampak pada yield surat utang negara (SUN). Josua mengatakan real policy rate dari Bank Indonesia saat ini di sekitar 1,75 persen, angka ini cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan real policy rate dari Fed.
“Oleh sebab itu, sekalipun yield US treasury 10 tahun sepanjang Juni ini cenderung meningkat 15 basis poin ke level 3,8 persen, tetapi yield SUN 10 tahun cenderung turun 10 basis poin menjadi 6,27 persen,” kata Josua, Kamis (15/6/2023).
Selain itu, Josua berpandangan real yield dari SUN 10 tahun yang saat ini tercatat sekitar 2,27 persen cenderung juga lebih atraktif dibandingkan dengan real yield UST yang tercatat -0,2 persen. Dengan demikian, suku bunga FFR yang tetap 5,25 persen bakal memberi sentimen positif bagi pasar keuangan negara berkembang dan memicu stabilitas rupiah dan pasar SBN.
“Permintaan SBN pun saat ini cenderung meningkat, terefleksi dari permintaan lelang yang mencatatkan rekor tertinggi sejak 2021 pada lelang SBN Selasa lalu,” tambahnya.
Baca Juga
Josua lantas memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan bergerak di rentang Rp14.850—Rp15.000, sementara yield SUN 10 tahun bakal berkisar di 6,2 persen hingga 6,4 persen dalam jangka pendek.
Dia menambahkan alternatif investasi jangka pendek lainnya datang dari aset emas di tengah potensi penguatan dolar AS. Josua mengatakan harga emas akan cenderung melemah dalam jangka pendek, tetapi akan naik dengan potensi pemangkasan suku bunga pada 2024.
“Pada umumnya harga emas berbanding terbalik dengan arah dolar AS, seperti yang terjadi pada 2022 lalu, di mana harga emas mengalami penurunan di akhir tahun,” katanya.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengemukakan peluang investasi akan sangat tergantung pada jangka waktu dan profil risiko setiap investor. Dia memperkirakan kondisi pasar akan volatil dalam tiga bulan ke depan sehingga lebih cocok untuk investor yang menyukai aktivitas trading untuk saham maupun obligasi.
“Arah kebijakan The Fed akan lebih jelas dalam tiga bulan ini sehingga mendukung investor yang profilnya jangka menengah ke panjang,” kata David.