Bisnis.com, JAKARTA – Auto rejection bawah (ARB) dan auto rejection atas (ARA) simetris akan mulai diberlakukan secara bertahap mulai 5 Juni 2023. Analis berpendapat kebijakan tersebut membuat pasar akan bergerak lebih fluktuatif tetapi dapat meningkatkan transaksi harian.
Bursa Efek Indonesia (BEI) memutuskan memberlakukan auto rejection secara bertahap mulai 5 Juni 2023, dengan ARB dan ARA 15 persen. Pemberlakuan ARB simetris dilakukan secara bertahap hingga September mendatang.
Senior Investment Information Mirae Asset Martha Christina menyebutkan pemberlakuan ARB simetris akan berdampak pada pasar saham yang bergerak lebih fluktuatif. Pergerakan tersebut menjadikan transaksi kemungkinan lebih sepi karena investor akan wait and see.
“Namun setelah adaptasi, ARB 15 persen akan meningkatkan nilai transaksi karena scalper akan melihat peluang,” kata Martha saat dihubungi Bisnis, Senin (29/5/2023).
Untuk scalper, kata Martha, kondisi tersebut bisa jadi peluang saat ada tarikan di saat ARB. Namun bisa jadi jebakan, terutama untuk trader pemula yang mungkin terkadang masih kurang disiplin, minim berpengalaman dan jam terbang.
Namun demikian, investor tetap harus melakukan analisa fundamental dan teknikal, serta membuat trading plan, disiplin dengan trading plan yang ada, terutama di sisi stop loss-nya disaat pasar fluktuatif.
Baca Juga
Sejalan, Senior Investment Information Mirae Asset Nafan Aji Gusta menjelaskan bagi traders atau scalper, ARB simetris dapat mengoptimalkan profit dari trading jangka pendek. Hal ini kemudian yang akan meramaikan transaksi pasar, utamanya dari saham non bluechip.
“Perdagangan menjadi volatil dan tambah likuid kalau berbicara saham non bluechip,” jelasnya.
Mengenai dampak ARB Simetris yang dapat meningkatkan nilai transaksi harian bursa, Bisnis merangkum rata-rata transaksi harian sebelum pandemi atau sebelum diberlakukannya ARB asimetris dan saat pandemi atau saat ARB asimetris berlaku.
Kebijakan Bursa mengenai ARB Asimetris 7 persen berlaku sejak 9 Maret 2020, sebelum diberlakukan rata-rata nilai transaksi harian per 12 Februari anjlok 30,1 persen menjadi Rp6,42 triliun. Namun pemberlakuan kebijakan tersebut menjadikan RNTH sepanjang 2020 tercatat sebesar Rp9,21 triliun.
Nilai tersebut sedikit meningkat dibandingkan RNTH 2019 saat Covid-19 belum masuk Indonesia yang tercatat sebesar Rp9,18 triliun.
Setelah pemberlakuan ARB asimetris sebagai kebijakan menjaga pasar saat pandemi, data BEI menunjukkan peningkatan RNTH. Sebut saja sepanjang 2021, RNTH tercatat sebesar sebesar Rp13,4 triliun atau naik 45,2 persen (yoy).
Kondisi tersebut semakin membaik dengan tercatatnya RNTH sepanjang 2022 yang mencapai Rp14,7 triliun atau naik 10 persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu yaitu senilai Rp13,4 triliun.
Sebagai perbandingan, data berikut adalah RNTH 2015 dan 2016 di mana saat itu Bursa juga memberlakukan ARB Asimetris.
Saat itu, Bursa memberlakukan ARB Asimetris pada Agustus 2015 dan kembali memberlakukan ARB simetris pada Januari 2017. Sepanjang 2015, RNTH tercatat sebesar Rp5,76 triliun, angka ini kemudian meningkat di 2016 menjadi Rp7,50 triliun atau melambung 30,20 persen.
Kemudian setelah kebijakan ARB simetris diberlakukan pada 2017, RNTH naik tipis menjadi Rp7,60 triliun.
RNTH 2015 - 2017 dan RNTH 2019 – 2022
Tahun | RNTH | Keterangan |
2015 | Rp5,76 triliun | ARB Asimetris |
2016 | Rp7,50 triliun | ARB Asimetris |
2017 | Rp7,60 triliun | Pemberlakuan kembali ARB simetris |
2018 | Rp8,5 triliun | ARB Simetris |
2019 | Rp9,18 triliun | Sebelum pemberlakuan ARB Asimetris |
2020 | Rp9,21 triliun | ARB Asimetris |
2021 | Rp13,4 triliun | ARB Asimetris |
2022 | Rp14,7 triliun | ARB Asimetris |