Bisnis.com, JAKARTA - PT Bakrie & Brothers Tbk. (BNBR) memboyong anak usahanya PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk. (VKTR) menggelar penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham pada akhir Mei ini. IPO tersebut sekaligus menandakan keseriusan Grup Bakrie melebarkan sayapnya di bisnis energi hijau di sektor kendaraan listrik, setelah selama ini berkutat dengan energi fosil batu bara lewat PT Bumi Resources Tbk. (BUMI).
BUMI yang kini investor kenal semula bernama Bumi Modern. Perseroan memulai bisnisnya di bidang properti hotel dan jasa wisata, kemudian pertama kali menjadi perusahaan tercatat di bursa pada 30 Juli 1990. Sebelumnya BUMI sempat dimiliki oleh AJB Bumiputera 1912 (Bumiputera).
Pada saat IPO 33 tahun lalu, BUMI menawarkan 10 juta saham dengan harga Rp4.500 per unit, sehingga meraup dana segar Rp 45 miliar. Setelah IPO, saham BUMI kemudian digenggam oleh publik sebanyak 29 persen dan 71 persen lainnya dipegang Bumiputera.
Selanjutnya, pada 1997, Grup Bakrie masuk menjadi pemegang saham BUMI dan membawa perubahan besar pada bisnis inti perseroan. Hal ini sempat membuat harga saham BUMI meroket, terutama karena transaksi ini dilakukan di tengah krisis keuangan yang membuat harga aset properti ambruk.
PT Bakrie Capital Indonesia (Bakrie Capital) melakukan penawaran tender (tender offer) atas saham BUMI sebanyak 25 persen setelah mengakuisisi 58,15 persen saham BUMI milik AJB Bumiputera dan kemudian Bakrie kembali memperoleh 33,9 persen saham BUMI milik Bumiputera sehingga memegang 58,9 persen saham BUMI.
Dengan kepemilikan di atas 51 persen dan Grup Bakrie menjadi pengendali, BUMI kemudian mengakuisisi aset KPC dan Arutmin dan berkembang menjadi eksportir terbesar batu bara di Indonesia. Bisnis BUMI terus berkembang dengan merambah bisnis minyak, gas alam, dan tambang dari Gallo Oil pada 2000, Arutmin pada 2004, dan Kaltim Prima Coal (KPC) pada 2005.
Baca Juga
Masuknya Grup Bakrie disertai dengan berbagai manuver juga membawa saham BUMI pada 2007 melesat dari Rp890 per saham naik hampir 1.000 persen ke level tertingginya Rp8.750 per saham pada Juni 2008.
Namun, datangnya badai dari krisis subprime mortgate di Amerika Serikat (AS) pada 2008, membuat kisah manis saham BUMI langsung berakhir, sejalan dengan IHSG yang juga turut ambruk hingga 80 persen pada periode tersebut.
GUNCANGAN
Pada awal 2009, berbagai sentimen negatif menerpa Grup Bakrie sehingga turut mempengaruhi kinerja sahamnya termasuk saham BUMI yang terpaksa terjun 95 persen ke Rp 385 per saham, sebelum kembali naik ke Rp3.650 per saham pada Mei 2011 setelah mendapat kucuran utang US$1,9 miliar dari China Investment Corporation (CIC).
Namun, badai yang menerpa BUMI tak berakhir begitu saja, karena pada 2011 harga batu bara dunia anjlok ke titik terendahnya di level US$49 per ton pada April 2016. Hal ini karena di Eropa tengah memulai penggunaan sumber energi lain yang lebih hijau untuk menghindari pemanasan global.
Merosotnya harga batu bara menekan saham BUMI hingga ke harga Rp1.000 per saham. Kendati ada uluran tangan dari investor ternama, Lo Kheng Hong, saham BUMI tetap turun hingga menyentuh titik terendah di level Rp50 per saham dan resmi menjadi saham gocapan pada Juli 2015 karena sentimen harga batu bara yang ambrol dan dibayangi tingginya utang.
Setelah tidur panjang di posisi Rp50, pada 2020 harga saham BUMI berhasil bangkit, didukung oleh penguatan batu bara Newcastle ke kisaran US$50 per ton. Selain itu, kabar bahwa BUMI akan menggarap hilirisasi batu bara bersama PT Ithaca Resources dan Air Products untuk membangun industri metanol senilai US$2 miliar membuat harga sahamnya kembali bergerak.
Pada 2022, saham BUMI bergerak normal dengan komitmennya melunasi utang ditambah kinerja optimal. Hal ini tercermin dengan lonjakan laba hingga 8.768 persen pada semester I/2022 karena lonjakan harga batu bara dan harga jualnya yang tumbuh sampai 92 persen.
Namun, alih-alih melakukan manuver dan aksi korporasi, BUMI fokus menggunakan laba senilai Rp27 miliar itu untuk lanjut membayar utang-utangnya.
SALIM MERAPAT
Selain itu, lonjakan saham BUMI juga tak lepas dari peran Grup Salim yang masuk sebagai investor strategis dalam aksi penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMTHMETD) alias private placement BUMI.
Pada Oktober 2022, BUMI menerbitkan 200 miliar saham biasa seri C dengan harga pelaksanaan Rp120 per saham dan membuat saham BUMI bergerak di rentang Rp167—Rp186.
Anthoni Salim masuk ke saham BUMI melalui dua perusahaan cangkangnya di Hong Kong. Grup Salim mengambil private placement yang dilakukan Bumi Resources maksimal senilai Rp24 triliun atau setara US$1,6 miliar.
BUMI juga fokus membayar utangnya hingga resmi lunas pada Maret 2023 setelah melakukan private placement kembali dengan menerbitkan sebanyak 28.229 saham Seri C dengan nominal Rp50 per saham.
Sebelumnya pada 2017, utang BUMI sempat menembus US$4,3 miliar, dan melakukan konversi utang menjadi modal dengan harga pelaksanaan Rp926 per saham untuk bagian yang sebesar US$2 miliar. Dengan aksi tersebut, sisanya menjadi US$2,6 miliar yang direstrukturisasi menjadi tiga tahap senilai US$600 juta, US$600 juta, dan US$500 juta.
Terakhir, pada akhir perdagangan Jumat (26/5/2023), harga saham BUMI terpantau turun 2,75 persen atau 3 poin ke Rp106. Sepanjang 2023 harga saham BUMI turun 34,16 persen sejalan dengan penurunan harga batu bara. Namun, dibandingkan dengan setahun lalu, harga saham BUMI naik 89,29 persen.