Bisnis.com, JAKARTA — Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) menyebut dana hasil rights issue lewat penawaran umum terbatas (PUT) II senilai Rp7,77 triliun hanya menyisakan Rp2 triliun.
Direktur GIAA Prasetio mengatakan perseroan telah menggunakan sebanyak Rp4,5 triliun untuk melakukan pembayaran avtur atau bahan bakar, maintenance reserve, pemeliharaan dan restorasi pesawat, sewa pesawat, serta biaya restrukturisasi.
“Kebanyakan untuk menghidupkan kembali pesawat yang grounded,” ujar Prasetio di Jakarta dikutip Minggu (16/4/2023).
Dia mengatakan GIAA akan melakukan restorasi sekitar 30 sampai 40 pesawat yang sedang diistirahatkan atau grounded. Selain itu, GIAA juga berencana menyewa sekitar 7 sampai 9 pesawat untuk penerbangan ibadah haji.
Meski demikian, penambahan pesawat untuk ibadah haji tersebut masih dalam proses tender dan belum final. Selain itu, sisa dana rights issue nantinya akan diperuntukkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ketentuan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2022 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia Tbk.
Baca Juga
Dalam beleid tersebut tertuang bahwa penambahan PMN dilakukan dengan mempertimbangkan perbaikan struktur permodalan dan peningkatan kapasitas usaha Garuda Indonesia.
Hal ini dilakukan dalam rangka program restrukturisasi untuk penyelamatan GIAA melalui penerbitan saham baru guna mempertahankan komposisi kepemilikan negara.
Adapun hasil rights issue dengan tanggal efektif 2 Desember 2022 sejumlah Rp7,79 triliun dan dikurangi biaya penawaran umum menjadi Rp7,77 triliun. Sebanyak Rp7,5 triliun merupakan dana dari pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).
PMN tersebut berkaitan dengan langkah right issue dengan memberikan HMETD sebanyak 39.788.136.675 lembar saham atau senilai Rp7,79 triliun. Dana tersebut meliputi realisasi PMN serta partisipasi pemegang saham lainnya.
Sebagai informasi, GIAA juga berencana melakukan private placement dengan dana berkisar US$300 juta sampai US$400 juta atau sekitar Rp4,5 triliun sampai Rp6 triliun. Namun, Prasetio mengatakan sejauh ini belum ada keputusan maupun arahan dari Kementerian BUMN.
“Saya tidak bisa pastikan karena itu kan segala sesuatunya mesti harus melalui RUPS,” jelasnya.