Bisnis.com, JAKARTA — Bank Sentral Amerika Serikat Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,75—5,00 persen pada pertemuan 21—22 Maret 2023. Ini adalah kenaikan kesembilan sejak 17 Maret 2022 dan menempatkan suku bunga di level tertinggi sejak Oktober 2007.
Kenaikan ini telah sesuai ekspektasi pasar, mengingat tingkat inflasi AS yang belum di jalur target The Fed di 2 persen dan cenderung lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
Meski demikian, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan median dari estimasi Fed fund rate (FFR) yang dirilis The Fed masih berkisar 5,1 persen atau tidak berubah dari perkiraan sebelumnya. Dia mengatakan hal ini menjadi sinyal bahwa Bank Sentral AS cenderung less hawkish daripada pernyataan terakhir Jerome Powell di hadapan parlemen yang menyebutkan bahwa suku bunga berpotensi lebih tinggi.
“Tampaknya Fed juga mempertimbangkan kondisi sektor perbankan AS seperti yang baru ini terjadi di mana SVB yang mengalami kebangkrutan sebagai implikasi dari kenaikan suku bunga Fed yang agresif sejak 2022 lalu,” kata Josua, Kamis (23/3/2023).
Sinyal kebijakan suku bunga yang less hawkish membuat indeks dolar cenderung mengalami pelemahan terhadap mata uang utama. Selain itu, yield US treasury (UST) 10 tahun juga turun ke level 3,4 persen setelah sempat berada di level 3,64 persen sebelum rapat FOMC.
Sejalan dengan pelemahan dolar AS terhadap mata uang utama dan penurunan yield UST, Josua mengatakan terdapat potensi penguatan pada saham-saham berisiko, terutama di pasar negara berkembang termasuk Indonesia.
Baca Juga
Di sisi lain, Bank Indonesia dia perkirakan masih akan mempertahankan suku bunga acuan di tengah ekspektasi penurunan inflasi dan kondisi rupiah yang stabil. Dengan mempertimbangkan arah kebijakan The Fed yang less hawkish dan posisi suku bunga yang akan mencapai puncak, Josua memproyeksikan perekonomian dan pasar keuangan domestik cenderung stabil dan berdaya tahan.
Josua menambahkan bahwa kondisi ini membuat pasar surat berharga negara (SBN) tetap atraktif bagi investor domestik dan asing, terlebih dengan kondisi defisit fiskal yang diperkirakan tetap terjaga. Selain itu, neraca transaksi berjalan juga tetap solid.
“Dalam jangka pendek ini, terdapat kecenderungan SBN dengan tenor pendek masih diminati oleh investor. Namun apabila kondisi ketidakpastian global mereda dan Fed berpotensi memberi sinyal untuk mulai mempertimbangkan menurunkan suku bunga FFR, maka terdapat potensi bahwa investor akan mempertimbangkan untuk masuk di SBN dengan tenor yang menengah ke panjang,” kata Josua.
Terpisah, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan kebijakan The Fed teranyar cenderung berdampak positif ke pasar obligasi. Hal ini terlihat dari penguatan rupiah dan masuknya dana asing di pasar obligasi hingga Rp9 triliun ketika sentimen kejatuhan bank-bank AS mengantarkan pasar saham Asia ke zona merah dalam seminggu terakhir.
“Rupiah cenderung kuat karena pasar berekspektasi Fed tidak lagi terlalu hawkish seperti sebelumnya,” kata David.