Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga rating S&P Global menyebut obligasi korporasi di Indonesia akan cenderung stabil sepanjang tahun 2023.
Menurut S&P obligasi senilai US$3 juta hingga US$3,5 juta yang akan jatuh tempo pada 2023, 2024, dan 2025 sebagian besar berasal dari perusahaan berkapitalisasi besar, hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Yang kami yakini akan memelihara akses pendanaan di pasar modal,” tulis S&P dalam publikasinya, dikutip Rabu (22/2/2023).
S&P mencatat obligasi yang dirilis perusahaan lebih kecil yang menghadapi jatuh tempo pada 2023 dan 2024, sudah melakukan sejumlah upaya restrukturisasi utang, negosiasi ulang, maupun pendanaan kembali pada tahun lalu. Jatuh tempo obligasi perusahaan kecil ini, juga mendorong agar jatuh tempo utang bisa ditunda hingga 2026.
Langkah tersebut memberikan kelegaan terhadap pasar. Hal ini karena S&P pasar modal akan lebih selektif pada 2023. S&P menyebut pendanaan untuk perusahaan-perusahaan spekulatif akan lebih pendek dan sisa pendanaan tidak pasti menjelang Pemilu 2024.
Sementara itu, S&P menyebut bank-bank domestik akan lebih akomodatif terkait pendanaan pada tahun ini. Hal ini meski biaya pendanaan atau cost of fund tersebut lebih tinggi beberapa ratus basis poin dibanding 12 bulan lalu.
Baca Juga
Namun, biaya pendanaan yang lebih tinggi dapat menciptakan lebih banyak kerugian, gagal bayar, atau restrukturisasi untuk sektor padat modal kerja yang mengandalkan pendanaan jangka pendek.
"Sektor tersebut meliputi ritel, konstruksi, dan perdagangan. Transaksi utang dan restrukturisasi juga kemungkinan terjadi di beberapa BUMN yang lebih berpengaruh,” tulis S&P.
Lebih lanjut, S&P mencatat peringkat obligasi untuk perusahaan di Indonesia relatif stabil dan cenderung positif pada tahun ini. Fenomena ini, terjadi pertama kali sepanjang hampir satu dekade terakhir.
“Perusahaan di Indonesia cenderung memiliki peringkat negatif sebelumnya,” tulis S&P.