Bisnis.com, JAKARTA – Emiten penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) disebut akan masuk BUMN Holding Industri Aviasi dan Pariwisata Indonesia atau InJourney pada akhir 2023.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengatakan saat ini BUMN sedang mengkaji stabilitas cashflow GIAA. Adapun GIAA telah menghasilkan profit di luar restrukturisasi.
“Pagi tadi saya rapat dengan direksi Garuda, kita mengkaji mengenai stabilitas dari cash flow. Kita lihat 5-6 bulan ini selalu positif profit. Selain profit dari restrukturisasi kemarin sebesar Rp5,57 triliun itu, realitanya mereka bulanan sudah profit,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Tiko menyebutkan apabila pertimbangan cash flow sudah membaik maka akan ada pertimbangan lanjutan untuk menggelar rights issue, sehingga akhir tahun 2023, Garuda bisa bergabung dengan InJourney.
“Namun kita akan lihat sampai dengan pertengahan tahun keberhasilan mereka untuk meningkatkan profit bulanannya seperti apa dan akan kita lihat mereka sudah stabil atau belum. Kalau sudah stabil, akhir tahun kita bisa masukkan ke InJourney,” jelas Tiko.
Tiko mengaku bahwa restrukturisasi tidak hanya dilakukan di Garuda saja, melainkan maskapai penerbangan Citilink. Kementerian BUMN juga menargetkan pada 2023, kedua maskapai akan memiliki 130 armada pesawat.
Baca Juga
“Selain Garuda, kami juga restrukturisasi di Citilink. Garuda sekarang masih ada 50 pesawat, akan ditambah 21 pesawat lagi sedangkan Citilink sekarang 45 pesawat. Jadi harapan pada akhir 2023 ini running 130 pesawat di kedua maskapai,” imbuhnya.
Sebelumnya Staff Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan bahwa Garuda akan masuk InJourney ketika kondisi keuangan emiten tersebut sudah stabil.
“Kita lihat, kinerja bagus kita proses. Kadang-kadang BUMN ini kita holdingkan tidak melihat keuangan, hanya dilihat dari kesamaan jenis industrinya. Akibatnya emiten yang keuangannya merah akan membebani emiten yang bagus,” katanya baru-baru ini.
Saat ini, kata Arya, BUMN melakukan holding akan melihat kondisi keuangan emiten yang bersangkutan, meskipun disebut masih memiliki kesamaan industri.
“Meskipun masih satu cluster, kalau tidak sehat secara keuangan akan membebani induk dan anak-anak yang lain,” imbuhnya.