Bisnis.com, JAKARTA — Rapat Komite Pasar Terbuka (FOMC) The Fed yang memutuskan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin turut menjadi angin segar bagi pasar obligasi.
Pada penutupan perdagangan kemarin Rabu (1/2/2023), imbal hasil surat utang negara (SUN) acuan tenor 10 tahun naik menjadi 6,74 persen dari 6,64 persen. Sepanjang 2023, asing membukukan beli bersih sebesar Rp50 triliun di pasar surat berharga.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menilai hasil FOMC direspons positif oleh pasar obligasi karena diiringi dengan berlanjutnya penurunan imbal hasil US treasury dan indeks dolar. Di sisi lain, Bank Sentral Amerika Serikat juga memberi sinyal bahwa tekanan inflasi akan menurun meskipun masih di atas target.
“UST yield dan dolar indeks yang turun akan berdampak positif ke obligasi di emerging market karena aliran dana asing akan terus masuk,” kata Handy, Kamis (2/2/2023).
Imbal hasil UST yang terus turun akan membuat selisih imbal hasil dengan obligasi Indonesia tetap menarik bagi investor asing. Di sisi lain, pelemahan dolar akan mengurangi risiko nilai tukar bagi investor asing.
Dengan ekspektasi aliran dana asing yang berlanjut dan sentimen positif perlambatan inflasi di dalam negeri, Handy mengatakan potensi kenaikan harga obligasi dan penurunan imbal hasil masih terbuka.
Baca Juga
“Sentimen positif juga datang dari neraca berjalan yang masih positif, cadangan devisa yang naik, dan indeks manufaktur PMI yang terus terakselerasi. Selain itu konsolidasi fiskal juga terus bisa dilanjutkan,” paparnya.
Dalam situasi ketika suku bunga mencapai puncaknya, Handy merekomendasikan agar investor surat berharga memperhatikan instrumen dengan tenor menengah hingga panjang untuk optimalisasi return.
“Durasi panjang penurunan yield yang rendah berpotensi memberikan potensi kenaikan harga yang lebih besar dibandingkan dengan durasi pendek jika perubahan yield-nya sama,” kata dia.