Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah dunia tahun ini diprediksi masih terpengaruh oleh langkah embargo Uni Eropa terhadap minyak Rusia.
Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX) memproyeksikan harga minyak acuan akan bergerak di level resistance US$100–US$115 per barel dengan support US$65-US$55 per barel pada kuartal I/2023. Pada awal 2023, harga minyak rebound setelah pada kuartal IV/2022 harga turun 9,71 persen dibandingkan kuartal sebelumnya.
Berdasarkan data Bloomberg, Rabu (25/1/2023) pukul 18.50 WIB, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berada di US$80,33 per barel atau meningkat 0,20 persen. Sedangkan minyak Brent terpantau naik 0,16 persen ke posisi US$86,27 per barel.
Tim Riset ICDX mengungkapkan setidaknya ada 3 poin fokus pasar yang mempengaruhi tren komoditas minyak mentah, yaitu embargo pada produk turunan minyak Rusia pada 5 Februari 2023, target OPEC yang memprediksi harga minyak 2023 stabil di kisaran US$80 - US$90 per barel, serta AS yang masih mengalami krisis stok di Cadangan Strategis Negara.
“Embargo terhadap minyak Rusia seharusnya berdampak positif bagi harga minyak, namun efek bullish ini tidak berlangsung lama karena minyak Rusia hanya 'dialihkan' bukan sepenuhnya dihilangkan dari pasar, efek batas harga masih belum terlihat jelas, bahkan mungkin tidak efektif serta ancaman pengurangan produksi Rusia belum terealisasi,” jelas tim Riset, Rabu (25/1/2023).
Embargo ini direspons Rusia dengan mengalihkan pangsa pasar ekspor minyak dari Eropa ke Asia. Adapun India, China dan Turki bersama-sama menyerap sekitar 70 persen dari total ekspor minyak Rusia via jalur laut.
Baca Juga
“Pasar masih menunggu penentuan batas harga serta kebijakan yang akan diambil OPEC+ di mana target minyak masih US$80 hingga US$90 pada 2023. Keputusan akan diambil ketika harga minyak lebih tinggi atau lebih rendah dari target,” lanjutnya.
Selain itu Amerika Serikat masih belum menunjukkan indikasi pembelian stok Cadangan Strategis Negara, di mana posisinya saat ini berada di level terendah yakni 371,58 juta barel, terendah sejak Desember 1983.