Bisnis.com, JAKARTA – Rupiah menguat dan mencatatkan kinerja terbaiknya dalam dua tahun terakhir dengan kembali ke level psikologis 14.000 terdongkrak oleh tingginya arus aliran masuk modal asing, dan mengejar ketertinggalannya dari mata uang lain di negara berkembang. Dengan kondisi ini, pasar obligasi diyakini akan mendapat berkah berkat penguatan mata uang garuda ini.
Mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup menguat 187,5 poin atau 1,24 persen ke Rp14.887, paling perkasa di Asia. Adapun, indeks dolar AS terpantau melemah 0,33 persen ke 101,80.
Trader StoneX Group Singapura Mingze Wu mengatakan kembalinya investor obligasi luar negeri membantu rupiah untuk kembali reli. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, para pengelola dana di luar negeri menggelontorkan sekitar US$2,4 miliar ke pasar obligasi sekunder, terbesar sejak Juni 2019.
Selama tiga bulan terakhir, nilai tukar rupiah terus melemah dan tertinggal dari mata uang lain di negara berkembang di tengah perkiraan laju kenaikan suku bunga AS yang lebih lambat.
Namun, rupiah yang biasanya bergerak lebih lambat dibanding mata uang negara-negara tetangga, saat ini berhasil menguat meninggalkan Rp15.000 per dolar AS.
"Rupiah sempat diperdagangkan di kisaran Rp14.800-Rp15.000 pada Agustus hingga September 2022, tidak berlebihan jika memperkirakan bahwa pelemahan dolar dan penguatan rupiah lebih lanjut masih mungkin terjadi," ujar Wu, dilansir Bloomberg, Selasa (24/1/2023).
Baca Juga
Di tengah tren penguatan rupiah Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia mengatakan pasca-cuti bersama, pasar obligasi domestik diyakini akan menyambut pekan baru dengan optimistis. Samuel Sekuritas Indonesia memperkirakan akumulasi beli dapat berlanjut namun secara bertahap, didukung oleh beberapa faktor.
Faktor pertama adalah adanya optimisme yang dihembuskan oleh Managing Director IMF, Kristalina Georgieva, mengenai outlook perekonomian global yang diproyeksikan akan soft landing dan resesi yang akan terjadi mungkin tidak separah yang dikira sebelumnnya.
Kedua, bursa saham di AS yang ditutup di zona positif di sesi sebelumnya juga akan menjadi katalis positif dimana pasar menantikan langkah The Fed yang akan menurunkan besaran kenaikan bunga acuannya menjadi hanya 25bps pada FOMC meeting berikutnya pada awal Februari nanti.
Ketiga, situasi makroekonomi domestik yang stabil serta respons kebijakan Bank Indonesia yang penuh antisipasi dengan kenaikan bunga kebijakan yang front-loaded guna menangkal risiko volatilitas ekternal.
“Kami melihat penurunan imbal hasil SUN 10Y masih berpotensi terus lanjut dengan ke arah 6,60. Lebih jauh, kami turut pula positif dengan pergerakan nilai tukar rupiah yang diprediksi masih akan bergerak di kisaran level Rp15.000 per dolar AS, didorong oleh kenaikan 7DRR rate yang preemtif serta tetap menjaga spread dan risk premium dengan instrumen keuangan di AS,” ungkapnya.