Bisnis.com, JAKARTA — Pasar reksa dana pendapatan tetap masih memiliki potensi cerah seiring dengan kondisi inflasi Indonesia yang relatif terjaga.
Pasalnya, Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi di dalam negeri sepanjang 2022 mencapai tingkat 5,51 persen. Tingkat inflasi ini masih lebih rendah dibandingkan banyak negara lainnya, seperti Amerika Serikat yang mencapai 7,11 persen, Inggris 9,3 persen, Jerman 10,05 persen, dan Turki 84,39 persen pada November 2022.
Direktur Utama Pinnacle Persada Investama Guntur Putra mengatakan data internal itu dapat menjadi pendorong bagi reksa dana pendapatan. Adapun katalis positif lainnya adalah tren tingkat suku bunga yang diperkirakan naik terbatas. Selain itu, imbal hasil atau yield kemungkinan mendekati puncaknya. “Yield secara overall mungkin mengalami penurunan dan harga obligasi mulai naik,” ujar Guntur kepada Bisnis, Selasa (17/1/2023).
Guntur mengatakan potensi upside pada reksa dana pendapatan tetap lebih banyak ketimbang potensi downside risk. Dalam pengelolaan reksa dana obligasi, Pinnacle menggunakan pendekatan kuantitatif dengan strategi yang dapat beradaptasi dengan kondisi pasar.
“Kebetulan di reksa dana obligasi kami 100 persen berbasis SBN karena salah satu faktor utama yang kami jaga adalah tingkat likuiditas,” ujar Guntur.
Adapun reksa dana berbasis saham juga masih memiliki potensi dari sisi valuasi. Secara fundamental reksa dana saham juga masih menarik ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih diatas level 7.000. Pinnacle lebih melihat sisi fundamental melalui pendekatan kuantitatif untuk reksa dana berbasis saham. Model kuantitatif juga diterapkan dalam pemilihan portofolio lebih tahan banting saat pasar sedang volatil.
Baca Juga
Sementara itu, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto mengatakan terdapat beberapa sentimen positif pada pasar obligasi. Pertama dana asing yang masuk kembali lantaran Yield Obligasi AS atau US Treasury Yield dan indeks dolar AS yang menurun seiring Federal Reserve yang tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga.
“Tahun ini risiko inflasi berkurang, bergeser menjadi risiko perlambatan ekonomi atau resesi sehingga ada ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral juga akan mulai terbatas. Semua ini mendorong sentimen positif ke pasar obligasi,” ujar Handy kepada Bisnis, Selasa (17/1/2023).
Selain itu, Handy mengatakan kondisi perekonomian Indonesia masih solid dengan inflasi yang masih dapat terjaga. Kemudian, faktor risiko eksternal juga membaik seiring positifnya neraca transaksi berjalan atau current account Indonesia, dan naiknya cadangan devisa.
Kemudian defisit anggaran yang berada di bawah 3 persen dari produk domestik bruto juga memberi sentimen positif bagi pasar obligasi. Hal ini karena obligasi negara juga diperkirakan tetap terjaga rendah.
“Kalau inflasi sudah melewati puncaknya dan suku bunga BI sudah mendekati level puncak, maka umumnya reksa dana pendapatan tetap yang punya durasi panjang akan lebih outperformed,” ujar Handy,