Bisnis.com, JAKARTA – Investor asing dinilai masih akan melirik pasar saham negara berkembang (emerging market), termasuk Indonesia, meskipun Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 1,7 persen.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Maximilianus Nico Demus menilai proyeksi ekonomi global di negara-negara emerging market cenderung positif.
“Berarti asing akan memilih negara – negara emerging market untuk berinvestasi,” kata Nico saat dihubungi Bisnis, Rabu (11/1/2023).
Menurut dia modal asing justru berpotensi masuk ke emerging market seperti Indonesia. Hal ini meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kerap ditutup merah merona dalam beberapa hari terakhir.
Selama delapan hari perdagangan, IHSG sempat terjun bebas ke hingga 2,34 persen pada perdagangan kamis (5/1/2023) pekan lalu. Pada perdagangan Selasa (10/1/2023) IHSG juga masih memerah di level 6.622,499 meski sempat menghijau di level 6.688,265 pada perdagangan Senin (9/1/2023).
Pada perdagangan hari ini, Rabu (11/1/2023), IHSG kembali ditutup di zona merah ke level 6.588,54 turun 0,51 persen atau 33,96 poin.
Baca Juga
Menurut dia memerahnya IHSG tak lepas dari isu kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed yang mencapai 5,1 persen. Hal tersebut menumbuhkan rasa khawatir bagi para investor, ditambah dengan laporan dari Bank Dunia.
“Tapi tidak mengurangi adanya optimisme untuk berinvestasi di emerging market salah satunya Indonesia,” kata dia.
Diketahui, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 dan memperingatkan bahwa perekonomian dapat jatuh ke jurang resesi.
Dilansir dari Bloomberg pada Rabu (11/1/2023), dalam laporan tahunannya, Bank Dunia memperkirakan produk domestik bruto global (PDB) global naik hanya 1,7 persen sepanjang tahun 2023.
Proyeksi ini hanya setengah dari perkiraan pada bulan Juni 2022 lalu. Jika proyeksi ini akurat, ini akan menjadi kinerja pertumbuhan tahunan terburuk ketiga dalam tiga dekade terakhir, setelah perekonomian global mengalami kontraksi tahun 2009 akibat krisis keuangan dan tahun 2020 akibat pandemi Covid-19.