Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut anggota bursa (AB) atau sekuritas masih menginginkan jam perdagangan tetap berakhir pukul 15.00 WIB meskipun kebijakan PPKM dicabut Presiden Jokowi.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi mengatakan bahwa mayoritas anggota bursa menghendaki jam perdagangan tetap berakhir pukul 15.00 WIB seperti saat pandemi, meskipun pemerintah telah mengakhiri pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Hal ini tidak lepas dari nilai transaksi yang tetap tumbuh meskipun durasi perdagangan menjadi lebih pendek.
“Kami sudah meminta BEI melakukan survei ke anggota bursa dan kebanyakan menghendaki jam perdagangan tidak kembali ke kondisi normal. Ternyata setelah jam dikurangi, RNTH [rata-rata nilai transaksi harian] tidak berkurang dan justru bertambah. Namun kami tetap lakukan review dan melihat perkembangan yang ada. Namun itu input dari pelaku pasar,” katanya, dalam Konferensi Pers RDK Bulanan Desember 2022, Senin (2/1/2022).
Sebagaimana diketahui, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menerbitkan aturan baru mengenai perubahan pedoman perdagangan yang berlaku di bursa. Salah satu perubahan yang dimuat dalam aturan ini adalah jam perdagangan dan batasan auto rejection simetris yang kembali seperti sebelum pandemi Covid-19.
Keputusan itu tertuang dalam Surat Keputusan Direksi BEI Nomor Kep-00096/BEI/12-202 yang terbit pada 28 Desember 2022. Merujuk aturan tersebut, jam perdagangan di pasar reguler pada sesi pertama pada Senin-Kamis dimulai pada pukul 09.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB. Kemudian, sesi kedua dimulai pada 13.30 WIB sampai dengan 15.49 WIB dengan random closing time 15.58 WIB sampai 16.00 WIB.
Sementara itu untuk perdagangan pada Jumat, sesi pertama dimulai pukul 09.00 WIB sampai dengan 11.30 WIB. Sesi kedua dimulai pukul 14.00 WIB sampai dengan 15.49 WIB. Terdapat sesi pra pembukaan dan pra penutupan masing-masing lima menit dan random closing time dua menit sebelum perdagangan berakhir di pukul 16.00.
Baca Juga
Namun demikian, regulasi baru tersebut belum diterapkan, sehingga perdagangan yang berlaku saat ini masih mengikuti peraturan perdagangan saat pandemi.
Inarno juga menyebut OJK mempertimbangkan untuk kembali memberlakukan sistem auto reject seperti sebelum pandemi. Sebagaimana diketahui auto reject bawah (ARB) diberlakukan secara asimetris dengan batas penurunan sebesar 7 persen saat pandemi.
“Memang kalau melihat auto reject asimetris setelah pandemi, selisih antara auto reject atas sebesar 35 persen dan ARB 7 persen. Kita review ke arah normal, tetapi bertahap,” katanya.
Adapun ketentuan auto rejection asimetris masih diterapkan untuk ARB selama pandemi. Akibat tidak simetris, BEI membatasi ARB maksimal dalam satu hari perdagangan adalah 7 persen.
Namun, kebijakan ini berbeda dengan auto reject atas (ARA) pada sebuah saham. Bursa Efek Indonesia memberlakukan ARA hingga 35 persen untuk saham dengan rentang harga Rp50 sampai dengan Rp200. Lalu ARA hingga 25 persen dengan rentang harga lebih dari Rp200 sampai dengan Rp5.000. Terakhir ARA hingga 20 persen untuk saham dengan harga di atas Rp5.000.
Sistem auto rejection selama masa normal memang ditetapkan secara simetris. Dalam SK terbaru yang dikeluarkan BEI, penetapan ARA hingga 35 persen untuk saham dengan rentang harga Rp50 sampai dengan Rp200. Kemudian, ARA hingga 25 persen dengan rentang harga lebih dari Rp200 sampai dengan Rp5.000. Terakhir, ARA hingga 20 persen untuk saham dengan harga di atas Rp5.000.
Sementara itu, ARB hingga 35 persen berlaku untuk saham pada level harga Rp50—Rp200. Kemudian, ARB hingga 25 persen untuk saham pada harga lebih dari Rp200—Rp5.000. Adapun, ARB hingga 20 persen diberlakukan untuk saham dengan harga di atas Rp5.000.