Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan 2022 dengan tumbuh 4,09 persen menjadi 6.850,62. Walhasil, IHSG menjadi bursa kedua terbaik di ASEAN setelah Bursa Singapura yang naik 4,27 persen year to date (ytd) per Desember 2022. Melihat capaian itu, sejumlah kalangan melihat prospek IHSG di 2023 berpotensi semakin menguat.
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani menilai prospek IHSG masih cukup baik di tengah potensi resesi global dan ketidakpastian geopolitik pada tahun depan.
"Kalau kita lihat proyeksi pertumbuhan PDB sampai akhir tahun depan 5 persen untuk Indonesia. Ini lumayan bagus kalau dibandingkan dengan perkiraan mayoritas negara lain termasuk negara dengan ekonomi besar seperti negara-negara G20," jelasnya kepada Bisnis belum lama ini.
Selain itu, jika lihat tren tingkat inflasi sudah mulai melandai, walaupun masih di atas target yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Adapun, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga sudah stabil pada kisaran Rp15.560-Rp15.750 sejak awal November dan belum mengalami depresiasi lebih jauh.
Melihat beberapa indikator ekonomi pada akhir tahun ini, Arjun menilai fundamental ekonomi Indonesia masih kuat dari beberapa sisi. Dia mengharapkan fundamental solid ini bakal diterjemahkan menjadi kinerja pasar saham yang ciamik.
"Selain itu, beberapa perusahaan big caps yang mempunyai bobot tinggi di IHSG mempunyai fundamental yang solid dan diharapkan ini akan tetap berkontribusi positif tahun depan," jelasnya.
Baca Juga
Menurutnya, emiten empat besar perbankan, BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI masih kondusif berdasarkan fundamentalnya yang masih kuat.
Emiten mengalami kenaikan kinerja keuangan dibandingkan dengan tahun yang lalu dan mengalami tren penurunan pinjaman berisiko atau loan at risk (LAR) dan kenaikan rasio kecukupan likuiditas (LCR) sejak pandemi Covid-19.
Selain itu, non performing loans (NPL) mereka rata-rata di bawah 5 persen yang masih sangat manageable untuk emiten perbankan besar.
Kalau melihat kondisi pasar saat ini mengalami kenaikan suku bunga ini kondusif emiten perbankan besar yang mapan karena dapat memanfaatkan kenaikan Net Interest Margin (NIM).
"Dari sisi rasio PBV dan PER juga valuasi masih sangat wajar. Dengan demikian, masih ada potensi kenaikan harga saham emiten perbankan 4 ini tahun depan," tambahnya.
Selain itu, dia optimistis terhadap saham di sektor energi dan konsumen primer. Menurutnya, masih ada potensi kenaikan harga komoditas energi seperti minyak, batu bara, dan gas alam.
Hal ini karena ketidakpastian geopolitik yaitu perang antara Rusia dan Ukraina dan juga kendala pasokan yang sulit mengejar permintaan yang meningkat pasca pandemi.
Dengan begitu, mengakibatkan pembekuan ekonomi global dan kenaikan kegiatan ekonomi yang mendorong harga komoditas energi. Untuk sektor energi Arjun merekomendasikan ADRO, PGAS dan MEDC.
"Selain itu, saya optimis kepada sektor konsumen primer yang resilient terhadap efek resesi dan ketidakpastian geopolitik. Dari sektor ini, saya merekomendasi saham big caps yang punya fundamentals yang kuat seperti INDF, ICBP dan AMRT," terangnya.
Selain faktor eksternal tadi, faktor internal dalam negri juga bisa menjadi katalis positif bagi pasar modal di Indonesia. Mulainya tahapan pemilu 2024 di tahun depan bisa menjadi penopang penguatan IHSG kedepan melalui emiten-emiten konsumer.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto dalam risetnya menyebutkan bahwa pendapatan emiten konsumer cenderung tumbuh pada tahun-tahun menjelang Pemilihan Umum. Pada 2009, perusahaan-perusahaan konsumer dalam radar analisis BRI Danareksa membukukan kenaikan pendapatan sebesar 14,2 persen. Kemudian di 2014 tumbuh 16 persen dan pada 2019 tumbuh 7,3 persen.
“Menuju 2023, kami meyakini emiten konsumer akan diuntungkan oleh ekonomi yang kembali normal dan disertai pertumbuhan solid, serta didukung oleh naiknya uang beredar,” kata Natalia.
Natalia melihat peluang pertumbuhan sektor ini didukung oleh daya beli yang meningkat dan katalis positif dari pemilihan umum.
Adapun saham emiten konsumer yang menjadi pilihan utama BRI Danareksa Sekuritas adalah MYOR dengan target harga Rp3.000 dan ICBP dengan target harga Rp12.100.
Natalia mengatakan Mayora menjadi emiten sektor konsumer dengan pertumbuhan tertinggi dalam tiga pemilihan umum terakhir, sementara Indofood CBP diuntungkan dengan kekuatan merek mi instan Indomie selaku penguasa pangsa terbesar.
Sementara itu Chief Economist Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, investor pasar modal diharapkan tidak terlalu agresif berinvestasi pada 2023 seiring dengan kondisi makro ekonomi global yang diproyeksikan lebih menantang, sehingga membuat penyaluran kredit perbankan semakin ketat.
Budi menjelaskan, jika suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Fed kembali naik tahun depan, kemungkinan industri perbankan akan berhati-hati menyalurkan kredit. Menurutnya, tanpa penyaluran kredit yang ideal, ekonomi diperkirakan sulit bergerak lincah. Hal ini kemungkinan membuat laju ekonomi jauh lebih melambat. Kondisi ini pun diperparah oleh konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
“Strategi investasi 2023 adalah living with inflation. Saran saya sebetulnya kalau kita bicara investasi jangan persempit hanya di saham, silakan pertimbangkan properti,” ujarnya dalam Investment Talk baru-baru ini.
Meski dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi, dia masih cukup optimistis dengan kondisi perekonomian Indonesia pada tahun depan seiring dicabutnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Budi memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan pada 2023 dapat dilihat melalui tiga skenario. Untuk base case ada pada level 7.550, sementara untuk posisi bull menembus level 8.400, dan posisi bear berada di level 6.750.
Terakhir, Deputy Head of Research Sinarmas Sekuritas Ike Widiawati mengatakan pelaku pasar perlu memperhatikan risiko dari naiknya probabilitas resesi di AS dan China yang dapat mengganggu aktivitas dagang dengan Indonesia. Sinarmas Sekuritas memproyeksikan IHSG pada 2023 bergerak di kisaran 6.250—8.000.