Bisnis.com, JAKARTA - Pascapenerbitan whitepaper Digital Rupiah 30 November lalu, salah satu pertanyaan yang sering mengemuka adalah bagaimana nasib uang lainnya baik uang bank sentral (kertas dan logam) dan uang privat (uang elektronik dan deposit) ke depan? Akankah musnah atau tetap bernyawa?.
Jawaban atas pertanyaan tersebut sebenarnya sudah cukup jelas dijawab dalam whitepaper, bahwa Digital Rupiah menjadi komplemen dan hidup secara berdampingan (coexistence) dengan bentuk uang lainnya baik uang bank sentral maupun uang privat.
Pertanyaannya, lantas bagaimana mewujudkan prinsip komplemen dan koeksistensi tersebut dalam desain Digital Rupiah yang dirancang? Komplemen dan koeksistensi hanya akan terwujud jika Digital Rupiah dapat dengan mudah saling mengonversi dengan berbagai bentuk uang lainnya, tidak hanya rupiah kertas dan logam, tapi juga saldo uang elektronik, deposit, atau bahkan dengan CBDC negara lainnya.
Konvertibilitas tersebut harapannya dapat direalisasikan melalui integrasi, interoperabilitas, dan interkoneksi (3i) antarinfrastruktur sistem pembayaran yang memastikan pengedaran berbagai uang tersebut.
Bentuk keterhubungan 3i antar infrastruktur di pasar keuangan tersebut mulai diperkenalkan Gubernur Bank Indonesia sejak tahun 2021. Bahkan 3i saat ini menjadi salah satu pilar penting kebijakan di sistem pembayaran. Bila dielaborasi lebih dalam, 3i bermakna keterhubungan antar infrastruktur baik dari aspek teknis, bisnis, ataupun semantik. Keterhubungan antarinfrastruktur akan lebih mudah diwujudkan jika ketiga aspek tersebut memiliki standar yang sama baik di sisi BI maupun industri sistem pembayaran.
Dalam peta jalan Digital Rupiah, BI juga secara eksplisit menyebutkan bagaimana tahapan keterhubungan Digital Rupiah dengan infrastruktur pendukungnya sesuai usecase di setiap tahapan. Misal, keterhubungan dengan RTGS di tahap awal untuk mewujudkan koeksistensi dengan rekening giro bank di bank sentral dan seterusnya hingga tahapan akhir yg menghubungkan Digital Rupiah dengan seluruh infrastruktur sistem pembayaran eksisting. Meski demikian, keterhubungan tersebut masih menyisakan satu pertanyaan soal bagaimana menghubungkan Digital Rupiah dengan aset dan ekosistem kripto?
Baca Juga
Interoperabilitas Digital Rupiah dengan ekosistem kripto merupakan hal yang sangat krusial, hal ini karena salah satu motif kebijakan utama pengembangan Digital Rupiah adalah mitigasi risiko shadow currency dari kehadiran berbagai uang privat yang berada di luar perimeter kebijakan bank sentral, seperti stablecoin.
Uang bank sentral belum hadir dalam ekosistem kripto, karena uang bank sentral yang ada dalam bentuk kertas dan logam, tentu saja secara prinsip teknis tidak kompatibel untuk bisa digunakan. Kegagalan mewujudkan interoperabilitas Digital Rupiah dengan ekosistem kripto berarti kegagalan mencapai tujuan kebijakan yang sejak awal sudah dirancang.
Pelajaran market crash kripto di tahun 2022 (TERA-LUNA) menunjukkan bahwa untuk tetap stabil, stablecoin harus menggantungkan kredibilitasnya pada uang bank sentral. Meski demikian, masih terdapat batasan struktural dari stablecoin khususnya dari aspek penjaminan simpanan layaknya tabungan dan juga absennya peran bank sentral sebagai lender of the last resort. Oleh karena itu, kehadiran bank sentral melalui CBDC memegang peran penting dalam menjamin kredibilitas transaksi di ekosistem kripto.
Dalam whitepaper, sebetulnya Bank Indonesia sedikit menyinggung mengenai DLT gateway yang harapannya dapat menjadi jembatan antara platform Digital Rupiah dengan platform DLT lainnya di luar Bank Indonesia, termasuk ekosistem kripto. Meski demikian, interoperabilitas antar DLT platform bukan hal yang mudah. Selain karena solusi interoperabilitas DLT yang ada saat ini belum cukup implementatif dan cost efficient, minimnya rekam jejak pengembangan infrastruktur berbasis DLT baik sektor hulu hingga hilir masih menjadi tantangan tersendiri.
Menyikapi keterbatasan tersebut, Bank Indonesia berpijak pada pendekatan yang dilakukan secara secara pruden dan iteratif dalam 3 (tiga) sekuens. Setiap tahapan pengembangan Digital Rupiah setidaknya akan melalui konsultasi publik (consultative paper dan FGD), eksperimen teknologi (proof of concept, prototyping, dan sandboxing), dan reviu atas stance kebijakan Bank Indonesia terkait CBDC. Tahapan pengembangan yang rasanya paling komprehensif dibanding tahapan pengembangan infrastruktur sistem pembayaran sebelumnya.
Kehati-hatian juga terefleksikan dalam bentuk prasyarat sinergi proyek Garuda, Bank Indonesia tampaknya paham betul bahwa untuk mencapai tujuan kebijakan Digital Rupiah, partisipasi publik menjadi syarat fundamental. Tidak terkecuali dalam mewujudkan interoperabilitas Digital Rupiah dengan ekosistem kripto, Bank Indonesia secara spesifik menyebut kolaborasi dengan stakeholder yang relevan di area ini baik otoritas maupun industri akan menjadi prasyarat kunci . Bentuk kolaborasi tersebut dapat diwujudkan baik dalam diskusi desain bisnis ataupun keterlibatan dalam eksperimen teknologi.
Sekali lagi, prinsip komplemen dan koeksistensi Digital Rupiah bukan jargon yang hanya digaungkan tapi perlu untuk diwujudkan. Kerja sama, kolaborasi, dan sinergi dengan pihak-pihak yang kompeten menjadi kunci keberhasilan mewujudkan hal tersebut. Jika tidak, proyek Garuda hanya akan jadi cita-cita indah di atas kertas tanpa bisa kita rasakan manfaatnya bagi masyarakat luas.