Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga pemeringkat Moody's Investors Services memproyeksi sektor telekomunikasi Indonesia memasuki periode yang relatif stabil dan pertumbuhan yang diperkirakan mencapai 4 persen hingga 4,5 persen pada 2023.
Moody's mencatat pada Januari 2022 PT Indosat Tbk. (ISAT) melakukan merger dengan PT Hutchison 3 Indonesia menjadi Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) dan PT XL Axiata Tbk. (EXCL) mengambil alih PT Link Net Tbk. (LINK).
"Kami memperkirakan pertumbuhan organik antara 4 persen hingga 4,5 persen untuk sektor telekomunikasi Indonesia di 2023, yang didorong oleh pertumbuhan data yang lebih tinggi, konsumsi broadband, dan rasionalisasi harga dari berkurangnya persaingan," tulis Moody's dalam risetnya, Selasa (29/11/2022).
Moody's juga memperkirakan akan terjadi penurunan 2-3 persen poin pada rata-rata margin EBITDA di 2022, yang diakibatkan oleh menurunnya margin Indosat menyusul aksi merger dengan Hutchison 3 Indonesia dan XL Axiata yang meningkatkan marktingnya untuk menjaga pangsa pasar.
Meski EBITDA margin yang menurun, Moody's melihat rata-rata margin perusahaan telekomunikasi Indonesia akan tetap kuat di sekitar 48 persen hingga 49 persen selama dua tahun ke depan. Menurut Moody's, margin ini menjadi salah satu margin yang tertinggi secara global.
"Margin yang tinggi memungkinkan sebagian besar perusahaan untuk mendanai belanja modal dengan uang tunai dari operasi," kata Moody's.
Baca Juga
Lebih lanjut, Moody's menjelaskan intensitas belanja modal, yang diukur dengan belanja modal terhadap pendapatan, akan lebih tinggi 30-32 persen selama dua tahun ke depan.
Tingkat pengeluaran belanja modal ini dipandang Moody's sejalan dengan perusahaan telekomunikasi Asia lainnya, tetapi lebih tinggi dari rata-rata intensitas belanja modal di Asia Pasifik sebesar 23-25 persen.
Perusahaan telco meningkatkan investasinya, sambil memperkuat jaringan 4G dan broadband mereka.
Adapun Moody's memperkirakan tingkat utang akan tetap stabil. Seluruh perusahaan telekomunikasi yang diperingkat oleh Moody's bisa mendanai investasinya dengan kas dari operasi dan juga menjual aset non-intinya seperti menara, yang akan menjaga peningkatan utang.
"Semua perusahaan telco memiliki likuiditas yang kuat, yang ditunjukkan dengan akses ke bank dan pasar obligasi domestik," tuturnya.