Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investors Service memproyeksi adanya kenaikan suku bunga akan mengurangi permintaan untuk sektor properti di tengah meningkatnya risiko refinancing para emiten. Adapun marketing sales juga akan ikut melemah akibat turunnya permintaan properti.
Menurut penilaian Moody's tergerusnya daya beli konsumen seiring meningkatnya biaya pinjaman menyebabkan harga rumah menjadi kurang terjangkau bagi konsumen berpenghasilan menengah ke bawah. Beberapa konsumen pun lantas akan menunda pembelian properti.
Secara makro, pada September 2022, Inflasi Indonesia secara tahunan menembus 5,95 persen secara year-on-year (yoy) atau tertinggi dalam 7 tahun terakhir. Kondisi inflasi sempat membaik kala menurun 1,66 persen pada Oktober 2022 secara month-to-month (mtm). Kondisi ini membuat, laju inflasi secara tahunan sudah menembus 5,71 persen.
Terlebih lagi Bank Indonesia juga menaikkan suku bunga hingga 125 basis poin menjadi 4,75 persen.
Moody’s memproyeksikan marketing sales dari 6 pengembang properti turut melemah pada 2023 seiring turunnya permintaan properti akibat tekanan inflasi dan kenaikan suku bunga. Selain itu, sebanyak 5 dari 6 pengembang memiliki jatuh tempo obligasi yang signifikan pada 2024-2025.
Emiten-emiten tersebut adalah PT Pakuwon Jati Tbk. (PWON), PT Bumi Serpong Damai Tbk. (BSDE), PT Lippo Karawaci Tbk. (LPKR), PT Alam Sutera Realty Tbk. (ASRI), PT Agung Podomoro Land Tbk. (APLN), dan PT Modernland Realty Tbk. (MDLN).
Baca Juga
Salah satu emiten yang memiliki risiko refinancing tertinggi adalah APLN yang memiliki utang obligasi US$300 juta atau setara Rp4,57 triliun (kurs Rp15.247) jatuh tempo Juni 2024. Menilik laporan keuangan per 30 September 2022, APLN memiliki utang berupa senior notes tahun 2017 sebesar Rp4,57 triliun. Obligasi tersebut diterbitkan oleh APL Realty Holdings Pte. Ltd. pada Juni 2017.
Dari 6 pengembang yang ada, LPKR memiliki utang obligasi paling besar dengan US$325 juta jatuh tempo pada 25 Januari 2025, dan US$417 juta jatuh tempo pada Oktober 2026.
Pada Februari 2020, entitas anak LPKR, yakni TC menerbitkan obligasi (unsecured bond) dengan nilai nominal sebesar US$ 325 juta dengan tingkat bunga tetap sebesar 8,12 persen per tahun dan terdaftar pada Bursa Efek Singapura.
LPKR kemudian melunasi utang tersebut secara bertahap dengan masing-masing nominal US$13 juta dan US$2 juta pada Juli dan Agustus 2022. Dengan demikian, nilai obligasi ini surut menjadi US$310 juta.
TC juga menerbitkan unsecured bond senilai US$425 juta pada Oktober 2016. Obligasi tersebut terdaftar pada Bursa Efek Singapura dengan tingkat bunga tetap sebesar 6,75 persen per tahun. LPKR melakukan pelunasan pada Maret 2019 yang membuat utang obligasi menyusut menjadi US$417 juta. Obligasi ini akan jatuh tempo pada Oktober 2026.
“Meminjam dari bank-bank Indonesia yang memiliki likuiditas yang cukup telah menjadi pilihan populer bagi perusahaan-perusahaan Indonesia ketika mereka melakukan refinancing utang. Namun, di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, bank menjadi lebih selektif dalam memilih perusahaan untuk memberikan pinjaman dan akan memilih perusahaan dengan kualitas kredit yang lebih kuat dan potensi pemulihan,” tulis Moody’s dalam risetnya, Selasa (29/11/2022).