Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah global terpantau mengalami penguatan selama perdagangan hari ini, Selasa (22/11/2022) setelah tertekan kabar OPEC+ menambah produksi crude oil sebesar 500.000 per hari. Selain itu, kabar kematian akibat covid-19 di China yang berpotensi lockdown menambah sentimen negatif.
Head of research for NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata mengungkapkan minyak memilki beberpa faktor pergerakan harga. Setidaknya ada dua sentimen positif yang mengangkat harga crude oil saat ini, yaitu pelonggaran kebijakan zero covid China yang akan menyebabkan permintaan meningkat. Sentimen kedua yaitu disrupsi pipa minyak Druzhba yang akan mengganggu supply.
“Namun ada tiga faktor yang membuat posisi Crude Oil akan bearish,” kata Liza, Selasa (22/11/2022). Pertama adalah OPEC yang akan memangkas proyeksi pertumbuhan minyak global seiring pertumbuhan tantangan ekonomi yaitu inflasi dan suku bunga.
“Kedua, penguatan dolar AS, dimana minyak akan mahal bagi pembeli non-AS,” jelasnya. Terakhir adalah lemahnya permintaan China karena peningkatan kasus Covid-19, dimana kasus kematian covid muncul setelah 6 bulan.
“Hal tersebut beresiko lockdown yang menyebabkan perekonomian lumpuh,” imbuhnya.
Sebelumnya kabar OPEC+ akan menaikkan jumlah produksi telah disangkal oleh Juru bicara dari Arab Saudi. Kabar tersebut ialah OPEC+ akan mempertimbangkan produksi harian sebesar 500.000 barel per hari pada pertemuan pekan depan. Kabar ini pula sempat menekan harga minyak 2 persen.
Baca Juga
Analis Monex Investindo Futures sebelumnya memproyeksikan harga minyak mentah akan berpeluang melemah untuk menguji level support US$78,70.
“Kekhawatiran resesi global dan kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah kasus Covid-19 China mengurangi permintan dari importir minyak mentah utama dunia membebani sentiment berpotensi menekan turun harga minyak,” jelas tim Analis, Selasa (22/11/2022).
Harga minyak berpeluang dijual menguji level support US$78,70 per barel selama harga tidak mampu menembus level resistance US$80,65 per barel.
“Namun kenaikan lebih tinggi dari level resistance tersebut, maka minyak berpeluang dibeli menguji resistance selanjutnya US$81,45 per barel,” imbuhnya.