Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

The Fed Kerek Lagi Suku Bunga, Opsi Borong Dolar AS?

Fenomena Super Dollar berpotensi terus berlanjut, terlepas dari posisi dolar AS yang di sepanjang 2022 banyak menguat terhadap mata uang negara lain.
Mata uang dolar di salah satu penukaran uang di Jakarta, Minggu (9/10/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Mata uang dolar di salah satu penukaran uang di Jakarta, Minggu (9/10/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Bank Sentral AS Federal Reserve baru-baru ini mengesahkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) yang menandai kenaikan sebesar 75 bps selama empat bulan beruntun, sekaligus level tertinggi sejak 2008.  Kebijakan ini disebut dapat dijadikan momentum untuk mengumpulkan dolar AS.

Di sepanjang tahun 2022, U.S. Bureau of Labor Statistics sudah 9 kali merilis data NFP yaitu untuk periode Januari-September 2022.

Hasilnya, sebanyak 7 kali berada di atas konsensus, sementara sisanya berada di bawah konsensus.

"Dari 9 rilis data NFP yang sudah terjadi di sepanjang 2022, mayoritas menghasilkan peluang untuk melakukan aksi beli terhadap dolar AS, seperti pada pasangan mata uang EURUSD dan GBPUSD," kata Analis Monex Investindo Futures Anthony Kevin dalam riset, dikutip Minggu (6/11/2022).

Patut diingat, ketika pasangan mata uang EURUSD dan GBPUSD bergerak ke bawah, berarti dapat dibaca sebagai EUR dan GBP melemah sementara dolar AS menguat.

Seiring dengan data NFP yang terus positif, tingkat pengangguran pun turun ke kisaran 3 perden.Tapi, jika data NFP terus diumumkan berada di atas ekspektasi, hal tersebut mempersulit keadaan bagi The Fed selaku bank sentral AS.

Saat ini, AS dan seluruh dunia memang sedang dihadapkan pada permasalahan inflasi yang sudah sangat lama berada di level yang sangat tinggi. Inflasi yang terjadi di seluruh dunia saat ini merupakan inflasi tipe cost-push inflation, disebabkan kenaikan harga minyak mentah dan gas bumi, imbas invasi Rusia ke Ukraina.

Celakanya, cost-push inflation ini terjadi kala ekonomi dunia masih mencoba pulih dari pandemi Covid-19 yang membuat angka pertumbuhan ekonomi menjadi negatif.

"Berdasarkan perhitungan kami, dari 2019 ke 2021, perekonomian global hanya menikmati pertumbuhan sebesar 2,9 persen. Padahal, setiap tahunnya perekonomian global rata-rata mencatatkan pertumbuhan di kisaran 3,7 persen," jelasnya.

Diimbangi dengan daya beli masyarakat yang masih lemah, pejabat bank sentral di seluruh dunia dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka terpaksa menaikkan tingkat suku bunga acuan untuk “mematikan” daya beli masyarakat.

"Harapannya, ketika daya beli masyarakat "dimatikan”, permintaan akan turun sehingga inflasi berangsur-angsur turun," imbuhnya.

Sepanjang 2022, terlihat pertumbuhan ekonomi AS sangat melambat jika dibandingkan dengan tahun 2021, sehingga wajar jika AS diproyeksikan akan kembali mengalami resesi.

Jika tren data NFP terus berada di atas konsensus, maka hal tersebut dikhawatirkan akan membuat The Fed mengurungkan niatnya untuk mengerem laju pengetatan moneter.

Implikasinya, fenomena Super Dollar bisa jadi terus berlanjut, terlepas dari posisi dolar AS yang di sepanjang 2022 banyak menguat terhadap mata uang negara lain dan juga komoditas.

"Jadi untuk strategi jangka menengah [6 bulan] dan jangka panjang [1 tahun], memasang posisi long terhadap dolar AS bisa jadi merupakan opsi terbaik," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Mutiara Nabila
Editor : Farid Firdaus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper