Bisnis.com, JAKARTA – Emiten perkebunan sawit, edamame, dan sagu, PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) optimistis dapat membukukan rekor pendapatan tertinggi pada tahun 2022.
CFO ANJT Nopri Pitoy mengatakan, keyakinan perusahaan salah satunya ditopang oleh tren peningkatan produksi CPO yang akan berlanjut hingga akhir tahun ini. Ia menjelaskan, puncak produksi tanaman CPO yang dimiliki perusahaan akan terjadi pada kuartal II/2022 hingga awal kuartal IV/2022.
“Kami cukup percaya diri dari meeting bulanan perusahaan, laporan dari GM dan resident director di perkebunan kami juga optimistis dapat mencapai produksi yang kami targetkan,” jelasnya dalam sesi Instagram Live Austindo Nusantara Jaya bersama Bisnis Indonesia, Senin (29/8/2022).
Pada semester I/2022, ANJT membukukan laba bersih sebesar US$19,3 juta. Catatan tersebut naik 66,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2021.
Kenaikan laba bersih ANJT sejalan dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan. Tercatat, ANJT membukukan pendapatan sebesar US$144,1 juta, naik 19,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2021.
Optimisme perusahaan juga didukung oleh outlook permintaan CPO di semester II/2022. Nopri mengatakan, permintaan CPO akan mengalami peningkatan terutama di wilayah Eropa dan Amerika.
Baca Juga
Ia menjelaskan, kenaikan permintaan ini seiring dengan cuaca kering yang terjadi pada wilayah – wilayah tersebut. SIklus cuaca ini akan memicu penurunan produksi minyak nabati lain seperti minyak biji kedelai.
“Dari sisi supply dan demand, prospeknya masih cukup bagus, jadi kami harapkan pendapatan tahun 2022 dapat memecahkan rekor,” kata Nopri.
Sementara itu, Direktur Utama Austindo Lucas Kurniawan menambahkan, perusahaan juga menargetkan pertumbuhan produksi CPO hingga 7 persen hingga akhir 2022. Angka produksi CPO perusahaan ditetapkan sebesar 280 ribu ton.
Ia menjelaskan, tren harga CPO saat ini mulai meningkat setelah sempat terkoreksi di awal tahun 2022. Koreksi harga tersebut seiring dengan kebijakan pelarangan ekspor yang dilakukan pemerintah.
Menurutnya, harga CPO domestik sempat turun hingga ke level US$500 per ton. Namun, setelah pelarangan ekspor tersebut dihapuskan dan pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi ekspor, harga CPO domestik mulai kembali meningkat dan kini berada di kisaran US$780 per ton.
“Menurut kami harga CPO ke depannya akan kondusif pada level US$780 hingga US$800 dengan adanya kebijakan pemerintah yang suportif,” kata Lucas.
Adapun, guna menjaga kinerja perusahaan dari fluktuasi harga CPO, salah satu upaya yang dilakukan ANJT adalah melakukan transaksi lindung nilai (hedging). Lucas mengatakan, transaksi ini dibatasi dan disesuaikan dengan kondisi pasar.
“Kami juga melakukan pengelolaan biaya melalui manajemen agronomi melalui composting, dan penggunaan energi yang hemat serta efisien,” tutupnya.