Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpantau memimpin penguatan di kawasan Asia setelah Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reserve Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps).
Berdasarkan data Bloomberg, pukul 15.00 WIB, nilai tukar rupiah menguat 0,36 persen atau 54,00 poin menuju level Rp14.838 per dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terkuat di kawasan Asia.
Mata uang Asia lain yang terpantau menguat pada perdagangan hari ini adalah peso Filipina yang naik 0,22 persen, yen Jepang naik 0,20 persen, dolar Singapura naik 0,10 persen, dan rupee India naik 0,01 persen terhadap dolar AS.
Di sisi lain, mata uang won Korea Selatan terpantau memimpin pelemahan dengan turun sebesar 0,43 persen terhadap dolar AS. Kemudian disusul dengan pelemahan dolar Taiwan yang turun 0,27 persen, yuan China turun 0,15 persen, dan baht Thailand yang turun 0,14 persen.
Adapun Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI), Selasa (23/8/2022), menyampaikan kenaikan suku bunga acuan menjadi 3,75 persen.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,75 persen," kata Perry.
Baca Juga
Sejalan dengan keputusan ini, Bank Indonesia (BI) menetapkan suku bunga Deposit Facility sebesar 25 basis poin menjadi 3 persen dan suku bunga Lending Facility 4,5 persen.
Menurut Perry, mengatakan keputusan kenaikan suku bunga kebijakan sebagai langkah preventif dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga BBM non subsidi dan inflasi volatile food.
BI juga memperkuat kebijakan stabilisasi ntr agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
"Ke depan, tekanan inflasi IHK [indeks harga konsumen] akan meningkat, didorong masih tingginya harga pangan dan energi serta pasokan yang belum stabil," ujarnya.
Sementara itu, Perry menyampaikan bahwa perekonomian global berisiko tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut disertai dengan peningkatan risiko stagflasi dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
“Pertumbuhan ekonomi sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan China berisiko lebih rendah dari proyeksi sebelumnya disertai dengan risiko stagflasi di sejumlah negara dan resesi di negara maju sebagai dampak dari pengetatan kebijakan moneter yang agresif,” katanya.