Bisnis.com, JAKARTA – PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) telah menyelesaikan rangkaian obligasi wajib konversi (OWK) sehingga jumlah saham perseroan naik signifikan.
Dalam keterbukaan informasi, Manajemen BUMI menyatakan jumlah saham kini menjadi 140,03 miliar. Adapun jumlah saham OWK sebelum sebanyak 134,9 miliar Seri C, dengan nilai nominal Rp50 per saham.
"Seluruh saham baru tersebut yang akan diterbitkan dalam private placement akan diambil bagian oleh pemegang OWK terkait dalam rangka pelaksanaan hak konversi OWK," kata Manajemen BUMI dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (11/8/2022).
Private placement BUMI akan dilaksanakan dengan harga pelaksanaan Rp80 per saham, yang merupakan harga konversi OWK, yang berlaku terhadap pelaksanaan hak konversi OWK tersebut.
BUMI menempati posisi keenam sebagai emiten dengan jumlah saham terbanyak di BEI. Mayoritas saham BUMI dipegang oleh investor publik yakni 80,25 persen. Sementara itu, Long Haul Holdings Ltd yang berperan sebagai PSP memiliki saham sebesar 2,24 persen.
Di sisi lain, saham BUMI selama sebulan telah menguat 66,27 persen dari posisi terendah Rp83 menjadi Rp138 per saham.
Baca Juga
Analis Kanaka Hita Solvera (KHS) Andhika Cipta Labora mengatakan naiknya saham BUMI terdampak dari sentimen harga batu bara yang naik ke atas US$400 per ton. Selain BUMI, Andhika menyebut kenaikan harga batubara juga turut menggerakan emiten saham batu bara lainnya.
"Harga batubara yang kembali naik ke atas US$ 400 per ton menjadi sentiment yang menggerakan saham BUMI beserta saham batu bara yang lain," ujar Andhika, Kamis (18/8/2022).
Lebih lanjut, Andhika juga memproyeksikan saham BUMI masih berpeluang menguat ke level Rp150 sampai Rp154 per lembar saham.
Sebelumnya diberitakan, harga batu bara Asia mencapai rekor awal tahun ini setelah invasi Rusia ke Ukraina memperburuk pasar yang sudah ketat. Larangan impor batu bara dari Rusia disebut oleh tim analis Fitch Solutions akan mendukung pasar.
Larangan impor dari Uni Eropa yang akan dimulai pada bulan ini akan meningkatkan permintaan dari berbagai negara seperti Indonesia dan Australia. Sementara itu, rencana untuk menggantikan impor gas dengan pengapalan liquefied natural gas (LNG) akan menguras jatah bahan bakar untuk negara lain sehingga memaksa mereka menggunakan lebih banyak batu bara.
Emiten saham tambang lantas berjuang untuk memenuhi lonjakan permintaan seiring dengan upaya mengamankan bahan bakar.
Fitch memproyeksikan harga bahan bakar yang dimuat di pelabuhan Newcastle Australia rata-rata US$320 per ton tahun ini dan US$246 per ton rata-rata dari 2022 hingga 2026, naik dari perkiraan sebelumnya masing-masing US$230 dan US$159.