Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wall Street Jatuh Merespons Inflasi AS Tembus Level Tertinggi 41 Tahun

Mantra populer di pasar saham yakni TINA (There Is No Alternative), menghadapi ancaman besar karena imbal hasil pada pasar obligasi terlihat lebih menarik.
Karyawan berada di Bursa Efek New York (NYSE) di New York, AS, Senin (27/6/2022). Bloomberg/Michael Nagle
Karyawan berada di Bursa Efek New York (NYSE) di New York, AS, Senin (27/6/2022). Bloomberg/Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat ditutup jatuh pada perdagangan Rabu (13/7/2022) waktu New York karena laporan inflasi AS yang mengejutkan pasar keuangan, meningkatkan taruhan bahwa Federal Reserve bisa menjadi lebih agresif dalam pengetatan moneternya.

Berdasarkan data Bloomberg, Kamis (14/7/2022), indeks Dow Jones Industrial Average ditutup turun 0,67 persen atau 208,54 poin ke 30.772,79, S&P 500 melemah 0,45 persen atau 17,02 poin ke 3.801,78, dan Nasdaq tergelincir 0,15 persen atau 17,15 poin ke 11.247,58.

S&P 500 gagal mempertahankan kenaikan setelah membalikkan penurunan 1,6 persen. Sentimen lain yang membebani Wall Street adalah sinyal hawkish dari Presiden Fed Bank of Atlanta Raphael Bostic, yang mengatakan "semuanya dalam permainan" untuk memerangi tekanan harga.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor dua tahun, yang lebih sensitif terhadap pergerakan The Fed, naik. Euro tersentak kembali setelah sempat jatuh di bawah US$1, sementara loonie atau dolar Kanada naik karena Bank of Canada menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin. Bitcoin naik di tengah kebangkitan daya tarik lindung nilai inflasi.

Menurut Silvia Dall'Angelo dari Federated Hermes, lonjakan terbesar indeks harga konsumen (CPI) AS sejak 1981 menunjukkan bahwa puncak inflasi mungkin masih di luar jangkauan. The Fed kemungkinan akan menggunakan retorika hawkish dan pengetatan lebih lanjut saat berjuang untuk mempertahankan kredibilitasnya.

"Cetak CPI Juni jelek di seluruh papan. Ini adalah berita buruk untuk aset berisiko karena meningkatkan kemungkinan The Fed akan terus menaikkan suku bunga dengan cepat dan akhirnya melampaui batas yang cukup untuk mendorong ekonomi ke dalam resesi,” kata Krishna Guha, Vice Chairman Evercore ISI

Ekonom Bank of America Corp memperkirakan terjadi resesi ringan tahun ini di AS. Menurutnya belanja jasa melambat dan inflasi panas mendorong konsumen untuk mundur. Mereka bergabung dengan Wells Fargo Investment Institute dan Nomura Holdings Inc. dalam memperkirakan kontraksi pada 2022. Deutsche Bank AG melihat kontraksi dimulai pada pertengahan 2023.

Mantra populer di pasar saham yakni TINA (There Is No Alternative), menghadapi ancaman besar karena imbal hasil pada pasar obligasi terlihat lebih menarik.

Persentase konstituen saham indeks S&P 500 dengan high yield dividen dibandingkan dengan imbal hasil obligasi AS, telah jatuh ke level terendah sejak 2007. Setoran dividen berada di bawah tekanan karena perusahaan bergulat dengan kekhawatiran resesi, inflasi yang tinggi secara historis dan kendala pasokan.

Dalam berita perusahaan, Delta Air Lines Inc. tidak memenuhi ekspektasi laba pada kuartal kedua dan mengatakan biaya operasional yang tinggi akan bertahan sepanjang sisa tahun ini. Spirit Airlines Inc. setuju untuk menunda pemungutan suara pemegang saham pada akuisisi yang diusulkan oleh Frontier Group Holdings Inc.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Farid Firdaus
Editor : Farid Firdaus
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper