Bisnis.com, JAKARTA — Emiten maskapai BUMN, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) memproyeksikan bisa mulai membukukan profitabilitas sejalan dengan disahkannya persetujuan terhadap skema restrukturisasi dalam perjanjian perdamaian oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Senin (27/6/2022).
Persetujuan skema restrukturisasi utang GIAA mencakup perubahan skema sewa pesawat dengan lessor.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menjelaskan salah satu skema restrukturisasi penting dalam perjanjian perdamaian dengan kreditur adalah perubahan ketentuan kontrak sewa pesawat. Setelah restrukturisasi ini, Garuda Indonesia dan lessor akan menerapkan power by the hour (PBH) di mana biaya sewa hanya akan dibayarkan apabila pesawat diterapkan.
“Untuk pesawat narrow-body skema berlaku sampai Desember 2022 dan untuk pesawat wide-body akan sampai 30 Juni 2023. Khusus untuk pesawat 777 sampai 30 Desember 2023,” papar Irfan dalam konferensi pers, Selasa (28/6/2022).
Secara rata-rata, biaya sewa bulanan (lease rates) untuk pesawat narrow-body mengalami penurunan 31 persen setelah skema baru diterapkan, sementara lease rates untuk pesawat berbadan lebar rata-rata turun sampai 55 persen. Jumlah pesawat yang dioperasikan GIAA juga turun menjadi 120 pesawat, dari sebelumnya 210 pesawat.
Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo pada kesempatan yang sama mengatakan pengesahan persetujuan terhadap skema restrukturisasi menyebabkan penurunan kewajiban jumlah utang Garuda Indonesia dan memberi ruang negosiasi untuk biaya sewa pesawat ke depan.
Baca Juga
“Penurunan kewajiban utang yang telah ada penting bagi kami untuk mengurangi liabilitas dalam neraca Garuda sehingga lebih sehat. Namun yang tak kalah penting adalah negosiasi leasing rates pesawat yang digunakan ke depan,” kata Kartika.
Dia mengakui bahwa permasalahan utama yang dialami Garuda sebelumnya adalah jumlah pesawat yang banyak serta tingginya biaya sewa. Hal ini membuat perusahaan pelat merah itu kesulitan memperoleh profitabilitas.
Beberapa penyesuaian biaya sewa ke depan yang cukup signifikan adalah turunnya biaya sewa pesawat berbadan lebar seperti Airbus A330-300 dari US$1,1 juta per bulan menjadi US$388.000 per bulan atau turun 65 persen.
Penurunan serupa juga akan diterapkan untuk pesawat jenis A330-200 yang berubah dari US$882.000 per bulan menjadi US$265.000 per bulan dan pesawat Boeing B777-300 dari US$1,57 juta menjadi US$484.000 per bulan atau turun 69 persen.
“Penurunan ini membuat lease rates Garuda Indonesia sesuai dengan standar di maskapai-maskapai lain di dunia. Sebelumnya lease rate kami termasuk yang termahal di dunia. Penyesuaian ini akan menjadi basis bagi kami ke depannya untuk lebih menghasilkan profitabilitas,” paparnya.
Performa keuangan Garuda Indonesia ke depan diproyeksikan lebih baik setelah optimalisasi biaya sewa dan jumlah armada. Meski pendapatan Garuda saat ini belum mencapai level sebelum pandemi, tetapi perseroan mencatat performa profitabilitas telah mulai diperoleh setelah melakukan efisiensi biaya yang utamanya mencakup lease rate.
Sebagai contoh, pendapatan bulanan Garuda Indonesia pada Mei 2019 mencapai US$239,7 juta, tetapi biaya operasional pada saat yang sama menembus US$249,0 juta. Rugi operasional tersebut dipengaruhi oleh rasio biaya sewa terhadap pendapatan yang mencapai 30 persen dari pendapatan.
Jika dikomparasi dengan situasi Mei 2022, GIAA membukukan pendapatan sebesar US$82,8 juta dengan biaya operasional hanya US$74,8 juta. Rasio biaya sewa pesawat terhadap total pendapatan periode tersebut ditekan menjadi hanya 9 persen, meski rasio biaya bahan bakar naik signifikan menjadi 53 persen.
Sepanjang Juni-Desember 2022, perseroan mengestimasi rasio biaya sewa terhadap total pendapatan bulanan berkisar 12-13 persen. Sementara itu, rasio biaya bahan bakar diperkirakan berfluktuasi di rentang 43 persen sampai 50 persen akibat harga minyak mentah yang tinggi.
“Power by the hour sudah mulai diterapkan tahun ini dan kami cukup optimistis melihat angka Mei dan Juni 2022 karena beban biaya bulanan sudah mulai berada di bawah pendapatan. Memang biaya avtur meningkat sehingga profitabilitas kami masih tight. Harapan kami saat harga avtur sudah mulai normal profitabilitas Garuda Indonesia lebih lebar,” kata Kartika.
Kartika menambahkan bahwa perseroan akan melanjutkan transformasi bisnis setelah restrukturisasi bisnis, di antaranya dengan mengoptimalisasi tipe dan jumlah pesawat yang dioperasikan, serta menyaring rute penerbangan.
Dia mengatakan pesawat narrow-body akan difokuskan untuk melayani penerbangan domestik, sementara pesawat berbadan lebar akan akan dimanfaatkan untuk rute domestik tertentu dan rute internasional secara selektif.