Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup menguat pada penutupan perdagangan hari ini, Kamis (23/6/2022). Penguatan rupiah terjadi di tengah hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang memutuskan mempertahankan tingkat suku bunga di level 3,5 persen.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup menguat 0,15 persen atau 22 poin sehingga parkir di posisi Rp14.840 per dolar AS. Sementara indeks dolar AS pada pukul 15.00 WIB terpantau tetap melanjutkan penguatan 0,419 poin atau 0,40 persen ke level 104,400.
Mata uang lain di kawasan Asia ditutup bervariasi pada perdagangan hari ini. Salah satu mata uang yang menguat di antaranya adalah yen Jepang yang naik 0,60 persen, sementara won Korea Selatan turun 0,28 persen, dan yuan China turun 0,09 persen.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi sebelumnya menyebutkan penguatan indeks dolar AS terhadap mata uang lain disebabkan oleh aksi investor yang menunggu isyarat kebijakan moneter dari AS dalam kesaksian Ketua The Fed kepada Kongres AS.
Dia mengatakan kebijakan moneter agresif dari The Fed telah memicu kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi dan ini menjadi tanda-tanda perekonomian AS sedang menuju resesi.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen.
Baca Juga
Sejalan dengan keputusan ini, Bank Indonesia (BI) menetapkan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.
"Untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap 3,50 persen," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juni 2022 hari ini, Kamis (23/6/2022).
Dia mengatakan keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara.
Meski demikian, Perry juga menegaskan masuknya aliran net inflow US$1,5 miliar turut menjadi pertimbangan. BI memperkirakan pada akhir tahun neraca pembayaran juga masih terjaga dengan defisit 0,5 sampai 1,3 persen dari PDB. Neraca pembayaran sendiri ditopang harga komoditas yang tinggi.
Sementara, Strategist Standard Chartered Steve Englander menyatakan kepada Bloomberg, dolar AS masih memiliki potensi untuk reli sebesar 5 persen. Kenaikan dipicu ketakutan masyarakat akan inflasi dan respon The Fed terhadap kemungkinan resesi.
“Dolar dapat mengalami kenaikan didasarkan pada asumsi bahwa kondisi keuangan akan semakin ketat,” ujar Englander.
Lebih lanjut, dolar AS juga bisa turun sampai 5 persen atau lebih untuk sementara waktu, tergantung oleh posisi pasar ke depan.