Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Emiten yang Punya Utang Valas Jumbo Rentan Kena Imbas The Fed

Kenaikan suku bunga AS secara historis akan diikuti dengan keluarnya dana asing. Hal ini bisa memicu pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Karyawan beraktifitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha
Karyawan beraktifitas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (8/9/2020). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Emiten-emiten dengan utang berdenominasi dolar Amerika Serikat yang tinggi berisiko terimbas signifikan akibat keputusan The Fed menaikkan suku bunga 50 basis poin.

Analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan bahwa kenaikan suku bunga AS secara historis akan diikuti dengan keluarnya dana asing. Hal ini bisa memicu pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

“Jika efeknya ke rupiah signifikan, mungkin BI akan merespons dengan ikut menaikkan suku bunga atau intervensi perdagangan rupiah. Dalam hal rupiah melemah, yang dirugikan biasanya saham-saham dengan utang valas yang besar,” katanya ketika dihubungi Bisnis, Kamis (5/5/2022).

Meski demikian, William mengatakan kenaikan suku bunga tak selalu berdampak negatif. Inflasi yang terjadi sebagai efek dari tingkat suku bunga dia sebut bisa menjadi momentum bagi sektor-sektor barang konsumsi. “Pilihan saham misalnya INDF, ICBP, dan ULTJ,” katanya.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengemukakan bahwa stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang berlanjut.

Dia melaporkan rupiah bergerak stabil selama April 2022 ditopang berlanjutnya pasokan valas domestik, aliran masuk modal asing, dan persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih berlangsung.

Dengan perkembangan tersebut, rupiah sampai dengan 18 April 2022 tercatat depresiasi sekitar 0,70 persen dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih rendah dibandingkan depresiasi dari mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Thailand 0,77 persen, Malaysia 2,10 persen, dan Filipina 2,45 persen.

Ke depan, stabilitas nilai tukar rupiah diperkirakan tetap terjaga didukung oleh kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tetap baik, terutama oleh lebih rendahnya defisit transaksi berjalan.

“Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan fundamental ekonomi,” kata Perry.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper