Bisnis.com, JAKARTA – Potensi komoditas nikel Indonesia sangat besar di masa depan, terutama dengan adanya perkembangan kendaraan listrik.
Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia Fahressi Fahalmesta menyebutkan nikel Indonesia punya potensi besar dengan memiliki cadangan nikel laterit terbesar sebesar 21 juta ton dan produksinya mewakili 30 persen dari pasokan global di sepanjang 2021.
“Kami percaya dengan cadangan nikel yang kaya, Indonesia siap untuk mendapatkan keuntungan dari meningkatnya permintaan nikel naik 7,9 persen CAGR mulai 2021-2024,” tulisnya dalam riset, Selasa (22/3/2022).
Baja tahan karat akan tetap menjadi pendorong permintaan nikel di masa mendatang, dengan produksi global diperkirakan akan meningkat sebesar 4,4 persen CAGR sepanjang 2021-2024 yang didorong oleh permintaan China, India, Indonesia, dan AS.
Namun, dalam hal penggunaan permintaan global untuk nikel, porsi baja tahan karat pada 2030 diperkirakan berkurang menjadi sekitar 57 persen dari 69 persen pada 2020.
“Alasan utamanya adalah pertumbuhan konsumsi nikel dari baterai EV akan melebihi baja tahan karat. Permintaan nikel dari EV diperkirakan akan tumbuh sebesar 28,0 perse CAGR sepajang 2020-2030 menjadi 1,3 juta ton,” ujarnya.
Baca Juga
Indonesia ditargetkan menjadi pusat produksi kendaraan listrik (EV) dan fokus di hilir, menargetkan 300.000 mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030. Indonesia telah memiliki industri nikel yang kuat, lengkap dengan smelter operasional dan infrastruktur pemrosesan, serta kemitraan internasional dengan pemain utama, seperti Tsingshan Industrial dari China.
Pemerintah juga telah memperkenalkan IBH (Indonesia Battery Holding) pada tahun 2021 untuk fokus mengelola ekosistem industri baterai. Selain itu, pemerintah Indonesia juga memiliki target ambisius untuk mengangkat penerimaan negara dengan melarang ekspor bijih nikel yang mendorong investasi di ruang nikel Indonesia, terutama di bisnis hilir.
Adapun, saat ini terdapat dua proyek nikel HPAL Indonesia dengan kapasitas 87.000 mt dan beberapa proses pembangunan smelter sedang berjalan (target operasi 2023-2024F).
“Kami optimis dengan prospek prospek industri nikel global dan menargetkan harga nikel rata-rata pada US$22.500/ton untuk 2022 dan US$20.000/ton untuk 2023. Untuk tahun ini, kemungkinan besar kita akan melihat konsumsi nikel yang kuat sekitar 10,0 persen dibandingkan dengan tahun lalu, sementara produksi berpotensi masih defisit, dan sentimen tetap positif,” ujarnya.
Pada 2023, Korea Investment & Sekuritas Indonesia memperkirakan normalisasi bertahap harga nikel didukung oleh volume produksi yang lebih baik untuk memenuhi konsumsi nikel yang kuat.
Dari sisi saham, Korea Investment & Sekuritas Indonesia berharap ANTM mendapatkan keuntungan dari operasi bijih nikel dan aliran pendapatan yang terdiversifikasi. Sementara INCO merupakan perusahaan yang lebih memainkan nikel murni yang lebih sensitif dengan pergerakan harga nikel akan diuntungkan dengan kenaikan harga rata-rata nikel tahun ini.
“Pilihan utama kami untuk sektor ini adalah ANTM untuk dibeli dengan target harga di Rp3.100 per saham dan INCO dibeli dengan target harga di Rp6.400 per saham,” ujarnya.
Adapun, risiko penurunan harga saham yang dihadapi antara lain penurunan harga nikel LME yang lebih buruk dari perkiraan, proyek smelter tertunda, dan peraturan pemerintah yang tidak mendukung tentang ekspor nikel.