Bisnis.com, JAKARTA — Harga bahan baku pakan ternak seperti jagung pipil kering dan bungkil kedelai bertahan tinggi dalam setahun terakhir. Sejumlah emiten sektor perunggasan telah menyiapkan sejumlah strategi untuk meminimalisir dampak pada bisnis.
Chief Financial Officer sekaligus Sekretaris Perusahaan PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk (SIPD) Sri Sumiyarsi mengatakan kenaikan harga bungkil kedelai atau soybean meal berdampak langsung pada produksi. Dia menyebutkan terjadi kenaikan biaya produksi yang tidak terhindari.
“Namun kenaikan cost ini tidak bisa secara langsung berdampak ke harga jual. Kami harus berupaya untuk menyeimbangkan antara volume, cost, dan biaya secara maksimal,” kata Sri Sumiyarsi, Selasa (22/2/2022).
Dia juga mengatakan perusahaan juga melakukan penyesuaian dalam formula pakan dengan penggunaan bahan baku pengganti tanpa mengurangi kualitas produk.
Mengutip laporan keuangan perusahaan per kuartal III/2021, SIPD membukukan penjualan bersih sebesar Rp4,08 triliun, naik sekitar 33 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2020 sebesar Rp3,08 triliun. Kenaikan ini diikuti dengan kenaikan pada sejumlah pos beban.
Beban pokok penjualan tercatat naik 41,17 persen dari RpRp2,69 triliun pada Januari—September 2020 menjadi Rp3,80 triliun pada Januari—September 2021. Beban usaha juga naik dari Rp286,28 miliar menjadi Rp312,77 miliar.
Baca Juga
Sementara itu, Chief Financial & HCD Officer PT. Widodo Makmur Unggas Tbk (WMUU) Wahyu Andi Susilo mengatakan perusahaan sejauh ini mampu mengendalikan kenaikan beban menyusul naiknya harga bahan baku pakan.
Bisnis perusahaan yang lebih banyak ditopang aktivitas produksi di rumah potong hewan unggas (RPHU), lanjutnya, membuat dampak kenaikan harga pakan cenderung tidak signifikan.
“Dengan model bisnis kami yang terfokus pada downstream dengan output produk berupa karkas ayam, boneless, dan chicken parting, proses produksi kami yang paling besar justru terjadi di fasilitas RPHU yang kami miliki,” katanya.
Dia mengatakan penggunaan soybean meal dalam pakan memiliki persentase sekitar 20 persen dan telah disubstitusi dengan bahan baku alternatif, yakni fermentasi bungkil inti sawit.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Emma A. Fauni dalam risetnya mengemukakan musim panen jagung yang dimulai pada Februari ini berpotensi menurunkan harga bahan baku yang stabil tinggi.
Produksi Februari—April umumnya menyumbang sampai 60 persen dari total produksi sepanjang tahun sehingga menjadi momentum bagi perusahaan untuk menyetok bahan baku.
“Ini sedikit dapat meringankan harga bahan baku yang telah meningkat sejak pertengahan tahun lalu karena kenaikan jagung dan bungkil kedelai,” tulis Emma.
Dengan sentimen tersebut, Emma menyematkan rating netral untuk sektor perunggasan, seiring dengan momentum pemulihan yang telah berlalu.
Kenaikan harga bibit anak ayam usia sehari (day old chick) dan harga stabil pada daging ayam broiler masih dibayangi permintaan yang belum menguat sehingga berisiko menekan harga ayam broiler.
“Rekomendasi utama kami di sektor perunggasan adalah JPFA dan WMUU dengan target harga masing-masing Rp2.000 dan Rp240,” katanya.