Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah emiten perkebunan sawit menyampaikan komitmen ikut serta dalam kebijakan kewajiban pemenuhan domestik atau domestic market obligation (DMO).
Kewajiban memasok 20 persen dari volume ekspor untuk kebutuhan domestik dengan harga khusus dinilai tidak terlalu berdampak pada kinerja bisnis secara keseluruhan.
Dalam rangka menjalankan kebijakan ini, PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) bersama KPN Corporation akan menjual akan menjual 20 persen hasil produk pabrik kelapa sawit perusahaan dengan harga Rp9.300 per kilogram, sesuai dengan ketentuan domestic price obligation (DPO)
“TAP akan mengalokasikan 20 persen minyak kelapa sawit atau CPO atau sekitar 2,5 juta kilogram sebulan, dengan harga yang sudah ditentukan oleh sebesar Rp 9.300 per kilogram,” kata Deputy Chief Marketing Director TAP Franky, Selasa (15/2/2022).
Head of Commercial KPN Corporation, Lian Pongoh mengatakan kerja sama ini merupakan salah satu langkah produsen untuk mendukung stabilisasi harga minyak goreng di pasaran.
"Kami selalu teringat nasehat dari Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam situasi ini, 'berat dipikul, ringan dijinjing' dan itu menjadi motivasi dan mindset untuk kita bekerja keras mengolah produksi sampai ke penyaluran minyak goreng ke masyarakat yang membutuhkan dengan kemasan dan harga yang terjangkau," kata Lian.
Baca Juga
Sementara itu, Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) Santosa memastikan perusahaannya akan mendukung kebijakan DMO dan DPO minyak sawit. Perbedaan antara harga ekspor dan harga yang dipasok untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
"Dampak DMO 20 persen ini hanya masalah blending price. Misal harga ekspor Rp15.000 per kilogram CPO dan domestik Rp9.300 per kilogram, dengan komposisi 80 dan 20 persen maka harga rata-rata sekitar Rp13.500 per kilogram. Apa ini masalah? Tidak juga selama masih di atas biaya produksi," katanya.
Dia mengatakan fluktuasi harga CPO merupakan hal yang lumrah mengingat harga komoditas tersebut pernah menyentuh di bawah Rp7.000 per kilogram. Dia mengatakan ketepatan kebijakan menjadi kunci untuk mencapai harga yang seimbang, mengingat biaya produksi juga mengalami kenaikan.
"Misal untuk pemupukan, kami mencatat kenaikan mencapai 75 persen di semester I/2022 dibandingkan dengan semester I tahun lalu, jadi tetap harus balance," kata dia.