Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman mengungkapkan Indonesia tidak terburu-buru untuk menerbitkan obligasi global atau global bond tahun ini.
Adapun, pemerintah memilih berhati-hati dan mencari peluang di tengah pengetatan Federal Reserve. Dia juga membeberkan bahwa pemerintah beralih dari strategi penjualan sebelumnya di awal dan akhir tahun, dan akan ekstra hati-hati dalam menerbitkan obligasi global atau berdenominasi mata uang asing. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari beban pembiayaan yang tinggi.
"Pemerintah akan menunggu volatilitas pasar mereda dan kenaikan imbal hasil US treasury yang melambat sebelum menyasar investor global," kata Luky, dilansir oleh Bloomberg, Senin (14/2/2022).
Cadangan kas yang cukup dan dukungan dari pembelian obligasi berkelanjutan oleh bank sentral, membantu Indonesia dalam menunda penjualan obligasi global.
Lebih lanjut, dia menuturkan saat pertumbuhan ekonomi pulih dari dampak pandemi Covid-19, pemerintah berada di bawah tekanan yang lebih rendah untuk meningkatkan pengeluaran negara membuatnya untuk sementara menghapus batas defisit anggaran sebesar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Kementerian Keuangan telah mengumpulkan kelebihan kas sebesar Rp84,9 triliun pada akhir tahun lalu.
Baca Juga
Sementara itu, Bank Indonesia sejauh ini telah membeli surat utang pemerintah senilai Rp146,88 triliun dari pasar perdana pada tahun 2021 dan 2022. Angka itu di luar Rp 439 triliun pembelian utang yang dapat dilakukan bank sentral melalui private placement selama dua tahun itu.
Luky juga membeberkan bahwa Indonesia dapat memangkas proporsi obligasi berdenominasi mata uang asing dalam rencana pembiayaan bruto tahun ini, dari 18 persen hingga 20 persen dari total Rp 1.417,4 triliun.
"Kalau pasar kondusif dan harga bagus, mungkin kita naikkan, kalau tidak bisa kita kurangi," katanya.
Imbal hasil treasury AS melonjak karena investor mengharapkan putaran pengetatan Fed yang lebih cepat tahun ini. Imbal hasil obligasi pemerintah 10-tahun Indonesia telah meningkat 14 basis poin menjadi 6,52 persen sepanjang tahun ini, sementara imbal hasil treasury AS dengan jatuh tempo serupa telah naik sekitar 50 basis poin.
Menurut Luky, mengelola biaya pembiayaan adalah kunci untuk menurunkan rasio utang terhadap PDB negara kembali menjadi 30 persen, dari 41 persen tahun lalu.
Pemerintah dapat mengurangi penjualan utang secara keseluruhan jika defisit anggaran tahun ini turun menjadi 4,1 persen dari PDB yang diperkirakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, lebih rendah dari 4,85 persen yang ditetapkan dalam anggaran negara.