Bisnis.com, JAKARTA – Sejalan dengan akan dimulainya tahun macan air, analis mengungkapkan beberapa sentimen yang menjadi sentimen positif penggerak harga komoditas mulai dari minyak mentah, tembaga, hingga minyak sawit (CPO).
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengungkapkan secara keseluruhan prospek komoditas pada tahun ini cerah dimulai dari sentimen positif yang terdapat pada harga minyak mentah.
“Komoditas masih tetap ciamik ya, masih cukup bagus karena memang kondisi secara bersamaan Imlek. Di sisi lain pun juga ada ketegangan geopolitik di Ukraina dan Rusia ini yang sebenarnya membuat para spekulator itu bermain,” ungkap Ibrahim saat dihubungi Bisnis, Minggu (30/1/2022).
Ibrahim membahas mengenai prospek minyak mentah yang disebutnya sebagai ‘bapak’ dari komoditas. Ibrahim menjelaskan, seiring dengan membaiknya perekonomian di tahun 2022 yang terlihat dari indikasi Inggris yang telah menaikkan suku bunga dan menyusul Amerika Serikat.
Pemulihan dari pandemi Covid-19 akan mendorong berjalannya produksi infrastruktur sehingga kebutuhan akan minyak mentah cukup tinggi. Namun, Ibrahim mengungkapkan bahwa produksi minyak saat ini belum bisa memenuhi kebutuhan yang ada karena belum sepenuhnya berproduksi secara normal.
Turunan komoditas lain jelas Ibrahim seperti tembaga, aluminium, nikel, paladium akan mengalami penurunan harga akibat dari penguatan dolar karena testimoni bank sentral Amerika Serikat yang akan menaikkan suku bunga.
Baca Juga
Namun menurutnya sentimen negatif tersebut hanya bersifat sementara karena melihat infrastruktur yang terus berjalan terutama di Amerika Serikat dengan akan digelontorkannya stimulus infastruktur senilai US$1,8 triliun.
Stimulus tersebut jelasnya akan meningkatkan kebutuhan bahan baku untuk infrastruktur diantaranya untuk tembaga, aluminium, timah, nikel dan juga platinum.
“Ini yang kemungkinan besar akan membangkitkan harga komoditas dan kembali lagi mengalami kenaikan,” ujar Ibrahim.
Selanjutnya, prospek crude palm oil atau minyak sawit menurut Ibrahim juga masih cerah apalagi saat ini terus mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Salah satu penyebab lonjakan harga minyak sawit adalah masalah geopolitik yang antara Ukraina dan Rusia.
Ibrahim menyatakan akibat krisis kedua negara tersebut, muncul kekhawatiran akan terhambatnya ekspor minyak terutama ke daerah Eropa Timur.
Selain itu, krisis tersebut juga ditakutkan akan meluas hingga ke China dan akan berpengaruh terhadap negara-negara importir termasuk Indonesia, dan juga India.
“China sama India itu afiliasinya ke Rusia sehingga akan berdampak cukup luar biasa memanaskan situasi konflik mengangkat sentimen positif terhadap harga minyak,” jelas Ibrahim.
Selain itu, di Malaysia sebagai salah satu negara pemasok minyak sawit, terdapat kekurangan tenaga kerja dan juga beberapa waktu ini mengalami bencana yang juga mendorong kenaikan harga.
Di Indonesia sendiri yang turut serta memicu kenaikan harga minyak sawit adalah pada Februari ini, pemerintah akan menguji coba biodiesel 40 persen atau B40.
Adapun, B40 membutuhkan minyak sawit sebesar 30 persen sehingga kemungkinan besar ekspor Indonesia, ungkap Ibrahim, akan mengalami penurunan. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sendiri pada 2022 mengatakan akan meningkatkan produksi minyak sawit dari 46,89 juta ton menjadi 49 juta ton.