Bisnis.com, JAKARTA - Pergerakan nilai tukar rupiah dan tingkat imbal hasil obligasi Indonesia sepanjang 2021 dinilai lebih dipengaruhi oleh sentimen global, terutama ketika terjadi arus modal asing yang keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Ekonom Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina mengatakan sentimen yang mewarnai pasar keuangan domestik belakangan adalah varian Covid-19 Omicron dan adanya kemungkinan kebijakan tapering yang lebih cepat oleh the Fed, Bank Sentral Amerika Serikat.
Dalam dua hari terakhir, pergerakan nilai tukar rupiah mengalami penguatan. Pada hari ini misalnya, Rabu (8/12/2021), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 21 poin atau 0,15 persen ke level Rp14.357 per dolar Amerika Serikat (AS).
Namun sebelumnya, dalam dua minggu terakhir rupiah terus mengalami pelemahan. Bahkan diperkirakan nilai tukar rupiah berpotensi mencapai level Rp14.500 per dolar AS.
Dian mengatakan, sisi positifnya, volatilitas rupiah masih masih termasuk yang paling rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
“Selama 2021 depresiasi nilai tukar rupiah dibandingkan negara lain termasuk yang paling rendah,” katanya, Rabu (8/12/2021).
Baca Juga
Hingga Desember 2021 atau secara tahun berjalan (year-to-date/ytd), rupiah mencatatkan depresiasi sebesar 2,8 persen.
Tingkat depresiasi tersebut memang lebih rendah dibandingkan dengan beberapa lainnya, misalnya India yang mencatatkan depresiasi 3,1 persen ytd, Singapura 3,6 persen ytd, Filipina 5,0 persen ytd, Malaysia 5,3 persen ytd, dan Brazil 8,2 persen ytd.
Dian mengatakan, kondisi ini turut didorong oleh kinerja eksternal Indonesia yang cukup baik, dari sisi neraca dagang, neraca pembayaran, dan cadangan devisa yang terus mengalami peningkatan.
Meski demikian, dia menyampaikan, dinamika pasar global masih perlu terus dicermati, terutama sentimen terkait dengan perkembangan kasus Covid-19 terutama di Eropa dan kejelasan varian Omicron.
Di samping itu, outflow di pasar obligasi juga perlu terus diperhatikan, apalagi pada 2020 diperkirakan akan ada potensi kenaikan suku bunga secara global. “Ini yang akan berdampak pada kenaikan imbal hasil obligasi dan bisa berdampak ke pasar keuangan Indonesia,” kata Dian.