Bisnis.com, JAKARTA – Kemunculan varian baru virus corona Omicron dapat menjadi katalis penguatan harga emas pada tahun 2022 mendatang.
Berdasarkan data Bloomberg, harga emas di pasar Spot terpantau naik 0,82 persen ke level US$1.783,29 per troy ounce pada penutupan perdagangan Jumat (3/12/2021) . Sementara itu, harga emas Comex juga menguat 1,2 persen ke posisi US$1.783,90 per troy ounce.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menyebutkan, harga emas dunia akan sulit menembus level US$2.000 per troy ounce seperti pada masa awal pandemi virus corona. Meski demikian, menurutnya prospek logam mulia tersebut pada tahun depan masih cukup positif.
Ibrahim memaparkan, salah satu katalis positif yang akan menopang pergerakan harga emas adalah kebijakan bank sentral AS, The Fed, yang diprediksi belum akan menaikkan suku bunga pada tahun depan.
Ia mengaku pesimistis The Fed akan mulai menaikkan suku bunga pada tahun depan. Pasalnya, saat ini pemerintah AS sedang fokus mencari pengganti sejumlah deputi gubernur dan gubernur The Fed yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022.
Selain itu, sejumlah nama yang beredar untuk mengisi posisi tersebut seperti Gubernur The Fed saat ini, Jerome Powell, dan Lael Brainard merupakan orang-orang yang cenderung dovish dalam mengambil kebijakan dan memberikan testimoni kepada pasar.
Baca Juga
“Sikap The Fed yang kemungkinan akan tetap dovish ini dapat mengangkat harga emas ke kisraan US$1.900 per troy ounce pada tahun depan,” jelasnya pada pekan ini.
Sentimen positif lain yang dapat menopang harga emas pada 2022 adalah varian baru virus corona omicron. Ibrahim menjelaskan, kemunculan varian baru ini telah menimbulkan gangguan pada pertumbuhan ekonomi global.
Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal III/2021 yang lebih rendah. Di sisi lain, angka ekspor impor, indeks manufaktur, serta klaim pengangguran di AS telah menunjukkan pertumbuhan yang cukup positif.
Katalis penopang harga emas pada tahun depan juga berasal dari China. Di China saat ini tengah terjadi krisis di sektor properti dan Ibrahim pun memperkirakan ini akan berlanjut pada 2022.
Krisis properti di China saat ini tidak hanya terjadi di satu perusahaan, terang Ibrahim, melainkan hampir semua bisnis propertinya mengalami kegagalan. Hal ini terjadi karena bersamaan dengan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, Ibrahim mengungkapkan di China juga terjadi krisis energi dan kemungkinan akan menjalar hingga 2022. Lalu krisis energi dan pangan di China kemungkinan besar masih akan menjalar sampai awal-awal 2022.
Ia memprediksi, harga emas akan bergerak pada kisaran US$1.780 per troy ounce hingga US$1.900 per troy ounce pada awal tahun depan. Seiring dengan hal tersebut, Ibrahim mengatakan ini merupakan saat yang tepat untuk masuk ke instrumen emas sebelum mengalami kenaikan yang lebih tinggi.
Meski demikian, ia juga mengingatkan agar investor lebih berhati-hati mencari waktu yang tepat untuk melakukan pembelian.
Laporan Commodity Markets Outlook dari Bank Dunia menyebutkan, harga emas turun sekitar 1,3 persen pada kuartal III/2021. Koreksi tersebut didorong oleh penurunan minat investor ditengah kenaikan imbal hasil obligasi AS atau US Treasury.
Imbal hasil dari Treasury Inflation-Protected Securities (TIPS) tenor 10 tahun tercatat bertambah 10 basis poin pada September 2021. Sementara itu, dolar AS juga menguat seiring dengan dimulainya program tapering off.
Di sisi lain, tingkat kepemilikan pada exchange traded funds (ETF) emas juga menurun tajam sepanjang kuartal III/2021. Penurunan ini disebabkan oleh banyaknya investor asal wilayah Amerika Utara yang keluar dari aset ini.
“Sementara itu, permintaan terhadap perhiasan emas di China dan India mampu menghambat penurunan harga emas sepanjang tahun ini,” demikian kutipan laporan tersebut.
Harga emas diprediksi akan menguat sekitar 1,5 persen hingga akhir tahun 2021 sebelum terkoreksi sebesar 2,5 persen pada tahun 2022 mendatang. Koreksi tersebut disebabkan oleh kenaikan imbal hasil obligasi AS.