Bisnis.com, JAKARTA – Obligasi masih dapat menjadi instrumen yang menjanjikan di sisa tahun ini seiring dengan dampak tapering The Fed yang tidak begitu signifikan.
Kepala Ekonom Bahana TCW, Budi Hikmat mengatakan, respon positif pasar terhadap kebijakan tapering The Fed sudah sesuai dengan ekspektasi awal. Oleh karena itu, ia menyarankan investor untuk perhatian pada sentimen lainnya, yakni arah baru perekonomian pascapandemi.
“Kami masih optimis, hingga akhir tahun kondisi perekonomian dan pasar obligasi akan tetap positif,” jelas Budi dikutip dari keterangan resminya, Minggu (14/11/2021).
Budi mengatakan, setelah pemerintah menghentikan penerbitan SBN, surat utang negara hanya dapat diperoleh dari pasar sekunder setidaknya hingga akhir 2021. Menurutnya, permintaan terhadap Surat Utang Negara (SUN) masih ada, sehingga hal ini dapat menjadi katalis positif setidaknya hingga akhir tahun 2021.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, jumlah kepemilikan asing di SBN sebesar Rp934,41 triliun hingga 3 November lalu. Secara year to date telah terjadi outflow sebesar Rp39,5 triliun.
Selain faktor pasokan yang menjadi katalis utama yang dapat membuat pasar obligasi dalam negeri masih atraktif hingga akhir tahun, dari sisi permintaan akan didorong oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Tren melimpahnya likuiditas masih terjadi, meski kredit perbankan menunjukan pertumbuhan, namun pertumbuhan DPK lebih tinggi.
Baca Juga
“Di pasar obligasi nasional, investor domestik memegang kendali. Hal ini terlihat saat investor asing belum kembali masuk ke pasar, tapi pasar obligasi kita menunjukkan penguatan (rally) dan yield SBN kita masih tetap kuat di angka 6,0 persen,” jelas Budi.
Merujuk pada data Bahana TCW, pada kepemilikan obligasi pemerintah, investor asing hanya menguasai 20,91 persen sementara investor domestik sebesar 79,09 persen.
Kepemilikan domestik atas obligasi pemerintah juga diperkuat oleh intervensi Bank Indonesia (BI) yang berkomitmen akan membeli SBN sebanyak Rp200 triliun sepanjang tahun ini dan Rp240 triliun. Hal ini diprediksi akan meningkatkan kepemilikan BI terhadap SBN.
Selain itu, sektor perbankan juga masih akan memiliki kelebihan likuiditas sampai dengan pertengahan tahun depan. Sehingga, dukungan dari perbankan terhadap SBN seharusnya masih sangat besar.
Di sisi lain, inflasi domestik menjadi salah satu katalis negatif yang dapat menekan pasar obligasi Indonesia. Meski saat ini tingkat inflasi sangat rendah, yakni 1,6 persen, pada kenyataannya inflasi di tingkat produsen perlahan mulai naik dan belum dirasakan di tingkat konsumen.
Faktor risiko kedua adalah dari sisi tren imbal hasil surat berharga negara global yang cenderung naik. Kendati demikian, pasar SBN Indonesia diprediksi tidak akan mengikuti tren kenaikan tersebut, mengingat di dalam negeri pasar SBN memiliki isu tersendiri.
“Pasar SBN kita merupakan salah satu dari sedikit negara yang masih merasakan reli dalam enam bulan terakhir dibanding dengan negara berkembang lainnya yang harus mengalami koreksi," ujarnya.
Dia menambahkan Yield SBN Indonesia masih sangat stabil di bawah angka 6,01 persen, sementara negara berkembang lainnya harus mengalami kenaikan yield karena tekanan dari tapering, inflasi dan kenaikan suku bunga.