Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup menguat pada hari ini, Jumat (15/10/2021), beriringan dengan beberapa mata uang lain di kawasan Asia.
Berdasarkan data Bloomberg, mata uang Garuda ditutup menguat 0,30 persen atau 43 poin ke posisi Rp14.074,5 per dolar AS. Sementara indeks dolar AS terpantau melemah 0,07 persen ke level 93,89 pada pukul 15.35 WIB.
Beberapa mata uang lain di kawasan Asia ikut mencatatkan penguatan terhadap dolar AS. Diantaranya mata uang won Korea Selatan yang terpantau menguat 0,37 persen, dolar Taiwan yang juga naik 0,37 persen,rupee India naik 0,15 persen dan yen China yang juga menguat 0,13 persen terhadap dolar AS.
Di sisi lain, yen Jepang terpantau melemah 0,43 persen terhadap dolar AS. Sama halnya dengan peso Filipina yang turun 0,21 persen, dan baht Thailand yang turun 0,32 persen terhadap dolar AS.
Sebelumnya, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menyebutkan, mata uang Garuda kemungkinan dibuka berfluktuatif namun bisa ditutup menguat pada rentang Rp14.080 - Rp14.130 per dolar AS.
Ibrahim menyebutkan, dolar AS sempat jatuh dari level tertinggi satu tahun pada Rabu (13/10/2021) karena imbal hasil treasury 10 tahun turun setelah data inflasi AS menunjukkan kelanjutan kenaikan harga.
Baca Juga
Sementara itu, risalah dari pertemuan Federal Reserve pada September juga mengkonfirmasi tapering akan dimulai segera.
Indeks harga konsumen AS naik 0,4 persen bulan lalu versus kenaikan 0,3 persen yang diantisipasi oleh para ekonom. Tahun ke tahun, CPI meningkat 5,4 persen atau naik dari 5,3 persen pada Agustus.
Selanjutnya, imbal hasil pada treasury jangka pendek, yang biasanya bergerak seiring dengan ekspektasi suku bunga, meningkat setelah laporan tersebut, sementara imbal hasil yang lebih lama untuk jangka 10 tahun turun.
“Ini menunjukkan pasar masih belum menetapkan harga dalam periode inflasi yang berkelanjutan. Kesenjangan antara catatan treasury dua tahun dan 10 tahun ditutup ke level tersempit dalam dua pekan setelah melebar ke level tertinggi dalam tiga bulan,” tulis Ibrahim dalam riset harian.
Selain itu, lonjakan harga energi telah menambah kekhawatiran inflasi dan memicu taruhan bahwa Fed mungkin perlu bertindak lebih cepat untuk menormalkan kebijakan daripada yang diproyeksikan sebelumnya.
Risalah dari pertemuan kebijakan The Fed pada September juga mengisyaratkan bahwa para gubernur bank sentral dapat mulai mengurangi stimulus pada pertengahan November, meskipun masih ada ancaman dari inflasi tinggi.
Dari sisi internal, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2021 yang sebentar lagi akan dirilis diperkirakan akan tumbuh sekitar 3,5 sampai 4,5 persen year on year (yoy).
“Walaupun turun dari kuartal kedua 2021 sebesar 7,07 persen, pemerintah masih optimistis bahwa perekonomian akan kembali bangkit,” jelasnya.